Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Ujung Kehidupan

20 Mei 2024   23:41 Diperbarui: 21 Mei 2024   00:28 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Punah dimulai di ujung kehidupan Saiyya. Seperti foto lama yang dibiarkan terjemur di bawah sinar matahari. Warna di tepi sudut pandangnya perlahan memudar.

Dia membuat catatan untuk memeriksakan matanya. Tapi matanya baik-baik saja. Pudarnya terjadi perlahan, sehingga dia tidak bisa melacak kapan dan bagaimana terjadinya.

Dia kehilangan warna dan detail dalam kehidupan sehari-harinya. Di tempat kerja, orang-orang lalu lalang di sekelilingnya bagai air yang mengalir deras di sela-sela batu di sungai yang melemahkannya. Suatu hari orang lain duduk di kursinya.

Saiyya menyadari bahwa dia telah menjadi foto itu. Gambar dirinya memudar, tapi dia masih di sana. Dia menjadi salah satu orang hilang, yang menghilang begitu saja dari pandangan. Tidak ada yang tahu karena tidak ada yang peduli.

Di rumah, dia masih memiliki Wortel, kucing oranyenya yang besar dan arogan. Malam hari mereka berbagi bantal.

Wortel berbagi mimpinya.

Warnanya monokrom, tapi ujungnya tajam. Penuh burung dan helaian rumput, hujan di kaca jendela. Dan wanita itu. Saiyya melihat dirinya, besar, dan nyaman, sebagaimana Wortel melihatnya. Matanya, sepertinya kuning, menyala dengan satu-satunya warna yang hidup dalam mimpi mereka berdua yang tidak berubah. Saiyya masih hidup, kokoh di dalamnya.

Mereka menangkap laba-laba rumah dengan gigi yang tajam lalu meremukkannya. Terkadang mereka menangkap hewan-hewan yang lebih besar.

Cahaya matahari siang hari melumerkannya seperti sabun di kamar mandi. Mungkin sudah waktunya dia harus pergi. Hampir.

Saat dia kehilangan definisi, dia kehilangan perasaan. Dia tidak bisa merasakan ruang yang ditempati tubuhnya, atau teh yang diminumnya. Tidak ada rasa. Tidak ada kehangatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun