Punah dimulai di ujung kehidupan Saiyya. Seperti foto lama yang dibiarkan terjemur di bawah sinar matahari. Warna di tepi sudut pandangnya perlahan memudar.
Dia membuat catatan untuk memeriksakan matanya. Tapi matanya baik-baik saja. Pudarnya terjadi perlahan, sehingga dia tidak bisa melacak kapan dan bagaimana terjadinya.
Dia kehilangan warna dan detail dalam kehidupan sehari-harinya. Di tempat kerja, orang-orang lalu lalang di sekelilingnya bagai air yang mengalir deras di sela-sela batu di sungai yang melemahkannya. Suatu hari orang lain duduk di kursinya.
Saiyya menyadari bahwa dia telah menjadi foto itu. Gambar dirinya memudar, tapi dia masih di sana. Dia menjadi salah satu orang hilang, yang menghilang begitu saja dari pandangan. Tidak ada yang tahu karena tidak ada yang peduli.
Di rumah, dia masih memiliki Wortel, kucing oranyenya yang besar dan arogan. Malam hari mereka berbagi bantal.
Wortel berbagi mimpinya.
Warnanya monokrom, tapi ujungnya tajam. Penuh burung dan helaian rumput, hujan di kaca jendela. Dan wanita itu. Saiyya melihat dirinya, besar, dan nyaman, sebagaimana Wortel melihatnya. Matanya, sepertinya kuning, menyala dengan satu-satunya warna yang hidup dalam mimpi mereka berdua yang tidak berubah. Saiyya masih hidup, kokoh di dalamnya.
Mereka menangkap laba-laba rumah dengan gigi yang tajam lalu meremukkannya. Terkadang mereka menangkap hewan-hewan yang lebih besar.
Cahaya matahari siang hari melumerkannya seperti sabun di kamar mandi. Mungkin sudah waktunya dia harus pergi. Hampir.
Saat dia kehilangan definisi, dia kehilangan perasaan. Dia tidak bisa merasakan ruang yang ditempati tubuhnya, atau teh yang diminumnya. Tidak ada rasa. Tidak ada kehangatan.