"Selesai."
Kata-kata yang kutunggu-tunggu mengonfirmasi pembelian setelah berminggu-minggu tak tampak ujungnya. Aku merasa lega, meskipun kegembiraan itu baru muncul saat aku melewati gerbang. Bangunan tua dari batu bata, kota terpencil di utara pulau Sumatra. Pemandangan laut, jauh dari tetangga dan tempat parkir yang cukup untuk seluruh tim dan masih banyak lagi adalah magnet yang membawaku ke sini untuk membeli impian ini.
Aku punya waktu seminggu untuk membersihkan tempat itu sebelum perabotan tiba. Dengan mudah, setiap ruangan selesai dibersihkan secara bergiliran. Lebih cepat dari jadwal, aku mencapai tangga. Aku tidak memperhatikan pintu masuk ke loteng, tersembunyi oleh bayangan lemari. Di dalamnya, sebuah gua, tertata rapi namun penuh.
Semalam aku menginap untuk membersihkan kotak terakhir sebelum kesibukan pagi hari. Di antaranya peti kayu kuno, bergagang tali, dengan lambang yang pudar dengan inisial huruf H atau N. Seperti kebiasaanku, aku menyimpan yang terbaik untuk nanti.
Kopi memungkinkanku untuk, bekerja tetapi kali ini pengaruhnya memudar dengan cepat. Aku butuh tidur, tapi ingin ini selesai. Sendirian, kedinginan dan lelah dan membiarkan angin dari laut memadamkan loentera.
Kotak itu terkunci. Tentu saja, seharusnya aku menunggu, tetapi otakku tak bekerja dengan baik. Menemukan pahat di dekat wastafel, aku merusak kuncinya, melukai jariku saat tutupnya terlepas. Darah menetes di mana-mana.
Aku kembali ke dapur. Air dingin mengucur mebasuh luka. Tidak ada plester, jadi kertas tisu makan menjadi pengganti sementara.
Karena kedinginan dan jariku menghambat. Aku mengambil kertas-kertas itu dari kotak. Enam gulungan diikat pita dan disegel dengan lak, empat di antaranya berlumuran darah, menusukku dengan rasa bersalah.
Menyalakan kembali lentera, mengeringkan gulungan yang berlumuran darah. Dari dua lainnya, satu terbuka karena lilin pada segelnya pecah. Dengan penuh kekaguman aku membaca sebuah akta hibah yang diberikan oleh seorang raja. Inisialnya kini tampak jelas.
H.Â
Sultan Hassan.Â
Disegel empat ratus tahun yang lalu, sekarang tak ternilai harganya.
Darah dari jariku kembali menetes. Dalam ketergesaanku untuk menghentikannya, kakiku yang lelah mengetuk meja kecil, menjatuhkan dua dokumen yang tersisa ke dokumen lain yang dikeringkan di dekat api dengan dokumen terbuka di atasnya. Aliran udara ini menyebabkan timbulnya percikan api. Saat aku sampai di ambang pintu, aku berbalik dan melihat nyala api yang menjilat manuskripku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H