Jantungmu berdebar kencang. Kamu kesulitan bernapas.Â
Istrimu menatap cemas dari seberang meja saat sarapan, dan kamu hanya bisa mengerutkan kening.
"Aku akan menelepon ambulans," kata istrimu dan segera mengambil ponsel.
Kamu mengertakkan gigi dan menutup mata. Keringat dingin mengucur dari dahi. "Gangguan pencernaan bersifat sementara," katamu, merintih . "Ini akan hilang, seperti biasa."
Istrimu selesai menelepon.
"Pak Sardana," sebuah suara berteriak dari sisi tandu. "Bisakah Anda mendengar saya?"
Suara-suara menghilang dan segalanya menjadi gelap. Kamu menarik napas terakhir. Dirinya melayang semakin tinggi.
Kamu melihat ke bawah. Tubuhmu mengenakan gaun hijau yang miring dan dadamu terbuka.Â
Kepalan tinju menggedor dada.Â
"Berhenti," kamu berteriak. "Tolong, tinggalkan aku sendiri!"Â
Tampaknya tidak ada yang mendengarkan.
Menit berlalu dan kemudian berjam-jam, sebelum akhirnya kamu membuka mata.
istrimu mencium pipimu dengan bibir berkali-kali, dan berbisik di telingamu:Â
"Aku mencintaimu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H