Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 115: Koplo

22 Oktober 2023   09:42 Diperbarui: 22 Oktober 2023   09:54 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masuk. Mereka memberiku tanda peserta.

Aku bertanya pada diri sendiri, mengapa aku menghadiri reuni kampusku yang ketiga puluh lima? Beberapa orang yang belum mati sepertinya memang harusnya sudah mati.

Aku langsung keluar. Tidak ada cerita yang membosankan, makanan tak enak dan minuman murahan pemicu diabetes. Aku akan berkeliling kota, melihat apakah aku ingat sesuatu.

Aku ingat Koplo, tempat minum dekat kampus, dan pergi ke Jl. Selokan. Tentu, tempat itu ditutup bertahun-tahun yang lalu, tetap saja aku ingin melihatnya.

Bangunannya, gelap tapi ada cahaya yang menyinari dari pintu samping yang dulunya menuju ke bar di belakang. Ada musik. The Rolling Stones. Rock Blues. "You Can't Always Get What You Want."

Aku mendekat, menuruni tangga yang rusak dan memasuki ruangan yang penuh sesak. Pitcher dan mug bersliweran. Meja dan bilik dipenuhi dengan anak-anak kampus berambut panjang yang mengenakan bawahan dan kemeja ikat celup. Apakah ini pesta tahun enam puluhan? Aku tidak mengerti. Di tengah kebisingan aku mendengar, "Him, Him, sini!"

Aku menoleh. Dua orang melambai padaku. Aku menggelengkan kepala, memejamkan mata lalu membukanya perlahan. Mataku tak salah. Itu Zhul dan Wing.

Zhul teman kuliah seangkatan. Entah bagaimana, selama tiga puluh tahun yang diisi dengan pernikahan, perceraian, direkrut perusahaan besar, dipecat, pekerjaan baru, dan segala macam tetek bengek pernak pernik hidup tapi kami tetap berhubungan. Lima tahun lalu Zhul meninggal.

Wing? Begajulan satu indekos denganku dulu. Dia juga sudah tak ada, salah satu dari ribuan orang yang kembali dari Timtim dalam kantong mayat. Itulah mereka, tapi tidak mungkin. Mereka tampak masih muda, dan jelas mustahil.

Aku di sini,  tapi entah kenapa.

Adegan itu akrab, tapi salah. Pusing, bingung, aku melangkah terseok-seok ke arah keduanya dan jatuh ke dalam bilik mereka.

"Zhul, angkat dia. Aku akan mengambil bir lagi." Wing mengambil pitcher kosong dan menuju ke bar. Dia kembali untuk mengisi ulang gelas kami. Mereka menatapku.

"Ada apa denganmu? Tidur berjalan? Sudah mabuk? Kamu menjatuhkan ini." Greg membawa sebungkus rokok kretek filter ke arahku.

Rokok? Aku tidak merokok. Waktu mahasiswa, ya, tapi berhenti setelah wisuda. Lagi pula, ini tahun 2023. Dilarang merokok dalam ruang tertutup.

Aku melihat sekeliling, ternyata aku salah. Udara berkabut karena asap rokok. Aku menyalakan sebatang  seperti tidak pernah berhenti sebelumnya.

Aku meneguk bir.

Ini tidak nyata. Tidak mungkin. Tetap saja, aku bagian dari ini, jadi aku ikut saja. Kami tertawa, bercanda, membicarakan pacar dan mantan, masa depan, kehidupan yang kami rencanakan. Ini adalah percakapan tiga puluh tahun yang lalu ... dengan suatu perbedaan. Saya tahu apa yang kami katakan, apa yang kami rencanakan, apa yang kami pikirkan. Aku juga tahu banyak hal yang ternyata berbeda. Aku tahu masa depan dan mereka tidak.

Melihat sekeliling, aku melihat wajah-wajah yang kukenal. Zayn dan Syauki. Entah mereka berdua adalah pecinta rahasia, tapi tragedi AIDS membuka apa yang mereka dapatkan sebagai pemuas para tante selama mangkal di Melawai.

Mulyadi di bar. Mabuk. Polisi saat Darurat Militer Aceh dan desersi daripada mati di sawah. Budi dan Dice di bilik sudut saling berpelukan, sejoli sejak tahun pertama kuliah. Setelah sepuluh tahun menikah, Budi dibui karena membunuh Dice.

Nirwan masuk. Mendapat beasiswa dari pemerintah ke Utrecht, tapi memilih pergi ke Kanada dan aku kehilangan jejaknya.

Bagi Zhul dan Wing, bagi mereka semua, ini adalah tahun 1988. Bagiku ini sejarah masa lalu. Aku tidak bilang apa-apa. Mereka tidak akan mempercayaiku. Aku sendiri juga tidak percaya.

"Dasar bajingan!"

Kami berbalik. Aku melihat seorang pria tinggi besar menunjuk ke arahku. Antara ingat dan lupa beradu saat aku berusaha untuk mengidentifikasi siapa orang itu.

Hendi? Dia bagian dari ini? 

Aku merasakan kepalan tinjunya di sisi wajahku diikuti bunyi gedebuk saat kepalaku membentur meja.

"Jauhi dia," teriaknya dan berlari keluar pintu.

Zhul, Wing, dan yang lainnya menatapku. Aku melihat darah di atas meja dan mengambil serbet.

"Masalah apa tadi?"

"Nggak ada masalah apa-apa."

"Oh, iya. Nampak memang 'nggak ada masalah apa-apa'."

"Dia hanya kesal karena Tika."

"Tika? Siapa Tika?"

"Kartika Ningrum."

"Cewek yang kamu kencani dua tahun lalu? Sobat, itu dendam berkarat."

Bagaimana saya bisa menjelaskan kepada mereka yang datang dari tiga puluh lima tahun yang lalu seolah-olah baru terjadi minggu kemarin?

"Aku bertemu dengannya baru-baru ini. Kami menghabiskan weekend, ehm, berdua di Kaliurang. Setelah kami kembali, dia memberitahuku bahwa dia bertunangan dengan Hendi. Kurasa Tika memberitahunya."

Semua yang kukatakan benar kecuali bagian tentang Tika memberitahu Hendi. Aku tidak tahu bagaimana Hendi bisa tahu.

Aku terus melihat ke belakang berjaga-jaga selama beberapa minggu,  sebelum akhirnya lulus dan diwisuda. Aku tidak pernah melihat keduanya lagi. Sampai sekarang.

Zhul menatapku sambil nyengir kuda. "Cerita bagus. Ngomong-ngomong, isi lagi gelasmu."

Kami minum dan minum dan minum.

Berapa banyak? Aku tak ingat, sampai alarm tubuhku mengingatkan kalau kantung kemihku takkan sanggup menampung lebih banyak lagi.

Zhul dan Wing bertanya apakah aku butuh bantuan. "Tidak, aku baik-baik saja. Sampai jumpa," kataku, terlalu mabuk untuk menyadari bodohnya kalimat pernyataanku itu.

Mereka menghilang ketika aku sempoyongan menuju pintu. Semuanya berjalan baik sampai aku mencapai jalan aspal.

Aku membuka mata ke cahaya terang lampu senter polisi.

"Anda baik-baik saja, Pak? Bisa berdiri?"

Beberapa detik yang lalu mungkin aku mabuk. Tidak lagi. Otakku jernih berkat hembusan angin. 

Aku berdiri tegak tak tergoyahkan. Menyentuh wajahku, rasanya perih.

"Ya. Mampir di Koplo untuk minum bir."

"Tidak mungkin. Tempatnya ditutup bertahun-tahun yang lalu. Sepertinya Anda tersandung di tangga dan kepala Anda terbentur. Anda yakin baik-baik saja?"

"Saya baik-baik saja. Cuma tergores. Saya menginap di Guest House. Nanti mandi di sana."

Polisi itu pergi. Aku menuju ke arah yang berlawanan.

Tersandung? Kepalaku terbentur? 

Aku menyentuh wajahku. Basah dengan darah yang menetes.

Merogoh saku baju untuk mengambil tisu, mengeluarkan kotak bungkus rokok kretek filter yang setengah kosong.

.

Cikarang, 22 Oktober 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun