Aku ke Taman Kota untuk menjernihkan pikiranku. Pohon-pohon meranggas, rerumputan berwarna kekuningan, air sungai cetek kecokelatan.
Di tepi kolam yang kini hanya berupa endapan lumpur, bahkan angsa yang biasa ramai telah mengungsi, di sanalah bangkuku. Seseorang telah merebutnya. Seorang lelaki tua, jaket tebal dengan kerah terangkat menutupi leher.
Demi Tuhan, ini pertengahan musim kemarau!
Aku duduk, sejauh mungkin darinya karena dia mungkin sedang tidak enak badan.
Dia memutar kepalanya perlahan, menatapku dengan mata berkaca-kaca sedih, dan mengangguk bagai dahan lapuk tertekuk ditiup angin.
Dia mengerti, menurutku.
Dan tanpa kusadari aku sedang berbicara, mengungkapkannya. Dedaunan terhanyut dari ujung selokan dan air hujan yang terpendam, sampah hidupku, mengalir tanpa hambatan. Di taman yang gersang ini.
"Perempuan itu berbicara dengan sangat lembut dan baik. Bagaimana mungkin aku berteriak dan membentaknya? Dia bosku. Jika aku memukulnya, aku akan kehilangan pekerjaan. Aku mencoba untuk menjadi manusia beradab. Ya, itu hal yang biasa saja, bisa saja terjadi pada siapa saja, aku tahu. Ya, aku tahu. Tapi kenapa aku? Aku bahkan tidak mengira mereka akan bertemu, apalagi... Dan kemudian dia membuatku merasa sia-sia. Katanya itu bukan keputusannya. Masa sulit, rasionalisasi tenaga kerja, bla bla bla. Tentu saja itu dia. Aku adalah rasa bersalah dalam jiwanya yang menatap langsung mukanya."
Orang tua itu, psikolog konsultanku, mengangguk. Dia mengerti. Dia telah melihat semuanya; Lumpur kehidupan telah menempel padanya, pasti dia sudah mengalaminya. Tapi dia selamat.
'Tetapi perusahaan mana yang mau menerima karyawan seumurku?' Aku melanjutkan. 'Tak peduli bahwa aku cukup bugar, cerdas, benar-benar bisa melakukan hal-hal yang masuk akal dengan baik. Demi Tuhan, jauh lebih baik dari daripada bocah-bocah yang dibuang oleh universitas-universitas saat ini, dengan gaun dan kerudung sutra. Dan papa mereka yang mengambil foto, minum kopi di Starbuck. Aku bisa matematika, setidaknya tambah kurang kali bagi. Bahkan belajar menggunakan komputer, kalau memang diberikan kesempatan."
Dia mengangguk. Oh, pikiran dan hatiku tertuju pada orang tua itu. Di sinilah dia, bau, jorok... tapi meski begitu, dia adalah malaikat yang diperuntukkan bagi penderita depresi.
Aku terus mengoceh, menumpahkan seluruh kisah sedihku. "Aku tahu sebagian dari itu adalah kesalahanku," kataku padanya. "Menganggap remeh, tidak berusaha, dan sebagainya. Tapi meski begitu, aku tidak pantas menerima semua itu. Tidak sama sekali."
Pada saat itu, seorang gadis muda sekitar dua puluhan, menurutku, datang melintas. Kami berdua mengawasinya. Setelah dia lewat, lelaki tua itu perlahan berbalik ke arahku, dan mengedipkan mata. Kemudian dia bangkit dengan susah payah dan berjalan mengejarnya dengan tergesa-gesa.
Pada saat itulah hujan rintik-rintik mulai turun, lembut, bertahan. Mungkin akan ada angsa lagi di kolam.
Cikarang, 31 Agustus 2023