Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gersang

31 Agustus 2023   06:57 Diperbarui: 31 Agustus 2023   07:24 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Aku ke Taman Kota untuk menjernihkan pikiranku. Pohon-pohon meranggas, rerumputan berwarna kekuningan, air sungai cetek kecokelatan.

Di tepi kolam yang kini hanya berupa endapan lumpur, bahkan angsa yang biasa ramai telah mengungsi, di sanalah bangkuku. Seseorang telah merebutnya. Seorang lelaki tua, jaket tebal dengan kerah terangkat menutupi leher.

Demi Tuhan, ini pertengahan musim kemarau!

Aku duduk, sejauh mungkin darinya karena dia mungkin sedang tidak enak badan.

Dia memutar kepalanya perlahan, menatapku dengan mata berkaca-kaca sedih, dan mengangguk bagai dahan lapuk tertekuk ditiup angin.

Dia mengerti, menurutku.

Dan tanpa kusadari aku sedang berbicara, mengungkapkannya. Dedaunan terhanyut dari ujung selokan dan air hujan yang terpendam, sampah hidupku, mengalir tanpa hambatan. Di taman yang gersang ini.

"Perempuan itu berbicara dengan sangat lembut dan baik. Bagaimana mungkin aku berteriak dan membentaknya? Dia bosku. Jika aku memukulnya, aku akan kehilangan pekerjaan. Aku mencoba untuk menjadi manusia beradab. Ya, itu hal yang biasa saja, bisa saja terjadi pada siapa saja, aku tahu. Ya, aku tahu. Tapi kenapa aku? Aku bahkan tidak mengira mereka akan bertemu, apalagi... Dan kemudian dia membuatku merasa sia-sia. Katanya itu bukan keputusannya. Masa sulit, rasionalisasi tenaga kerja, bla bla bla. Tentu saja itu dia. Aku adalah rasa bersalah dalam jiwanya yang menatap langsung mukanya."

Orang tua itu, psikolog konsultanku, mengangguk. Dia mengerti. Dia telah melihat semuanya; Lumpur kehidupan telah menempel padanya, pasti dia sudah mengalaminya. Tapi dia selamat.

'Tetapi perusahaan mana yang mau menerima karyawan seumurku?' Aku melanjutkan. 'Tak peduli bahwa aku cukup bugar, cerdas, benar-benar bisa melakukan hal-hal yang masuk akal dengan baik. Demi Tuhan, jauh lebih baik dari daripada bocah-bocah yang dibuang oleh universitas-universitas saat ini, dengan gaun dan kerudung sutra. Dan papa mereka yang mengambil foto, minum kopi di Starbuck. Aku bisa matematika, setidaknya tambah kurang kali bagi. Bahkan belajar menggunakan komputer, kalau memang diberikan kesempatan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun