"Tania?" tanyaku, berdiri saat dia berjalan melewatiku.
Dia berhenti dan mengamati kerutanku seolah-olah dia mencoba melihat menembus jiwaku. "Apakah kita pernah bertemu?"
"Irfan Hakim." Aku mengulurkan tangan, masih khawatir apakah tidak melanggar aturan jaga jarak.
Dia menatap sedetik lebih lama, lalu memelukku dengan pelukan seorang ibu. "Ya Tuhan," katanya ke telingaku yang masih mampu mendengar. Dia berdiri kembali dan menatapku dari atas ke bawah.
Katanya lansia suka berbicara sembrono tanpa menyaring kata-kata. Tapi Tania memang tidak pernah berpikir. "Kupikir kau sudah mati," katanya.
"Terbukti sebaliknya," kataku. "Kamu terlihat sehat, bisa kulihat itu!"
Tania duduk di kursi di sebelah kursiku yang bertuliskan JAGA JARAK, mengeretku ke sampingnya dengan menarik lengan jaketku. Dia melirik tangan kiriku, jari keempat.
"Dia meninggal enam tahun lalu," aku menjelaskan. "Kamu nggak kenal."
Tania mengangguk.
"Apa yang kamu lakukan? Setelah aku pergi?" aku bertanya.
Tania tidak menjawab, tetapi meraih tanganku dan bertanya, "Apa yang kamu lakukan di sini?"