Pelan, pelan, cepat-cepat, pelan.
Dimulai dengan ritme langkah cepat tetapi segera menabrak crescendo genderang rimba, membunyikan peringatan sementara aku berpegangan erat, tidak bisa bergerak, terkurung.
Mayat dalam peti mati.
Aku bisa menggerakkan mata, dan kalau aku melihat ke dalam kaca persegi kecil di atas kepala, bisa kulihat jari kakiku, yang anehnya masih ada di dunia luar. Aku bahkan bisa menggerakkannya seolah-olah tidak ada yang salah. Tapi dipenjara seperti ini, aku bahkan tidak bisa mengunyah kuku ibu jariku. Saya harus tetap diam.
Mati, diam.
"Bernapaslah," sebuah suara tanpa tubuh menggelegar dari suatu tempat yang tak terlihat. Aku menghirup udara yang disterilkan dalam-dalam. "Dan tahan ... Dan bernapaslah dengan normal."
Bernapas normal? Untuk berapa lama? Berapa lama sebelum aku bisa bernapas dengan cara tidak sadar yang kamu lakukan ketika kamu tidak peduli tentang berapa banyak udara yang tersisa untuk kamu hirup?
Buk, Buk. Bunyi gedebuk, kikuk-bunyi. Sebuah pantulan kerincingan api cepat. Dan diam.
"Terima kasih. Kami sudah selesai denganmu sekarang."
Selesai denganku?
Landasan dingin dan keras tempat aku berbaring meluncur seperti laci kamar mayat berpendingin dari MRI, sementara pemindai, sekarang diam, memproses gambar. Berapa lama lagi aku dapat memproses apa saja di luar sana?
"Berapa lama?" Aku berhasil bertanya kepada radiografer.
Penampilan bersih rapi dalam warna putih dan biru, dia melirikku dengan matanya yang terbiasa merawat pasien demi pasien, dengan sabar mengucapkan kata-kata hafalannya, "Ahli radiologi akan segera melaporkan pemindaian Anda dan memberi tahu dokter Anda hasilnya."
Dokterku mengatakan dia akan menelepon segera setelah dia berbicara dengan ahli radiologi.
Begitu aku sampai di rumah, dia berharap.
Di luar rumah sakit, bagai butiran timah menimpa atas lempengan granit air hujan turun. Aku berlari ke dalam mobil, membanting pintu dan menyalakan mesin.
Dengungannya yang mantap melilitku, menenggelamkan tamparan hujan pada logam. Desir roda menembus air saat aku berkendara melintas kota yang dipenuhi mobil keluar ke jalur jalan ke pedesaan dan akhirnya, ke rumahku.
Dan di sini aku duduk, menunggu dengung kasar logam yang intens berhenti.
Akhirnya tapak sepatu memercik di jalan kebun yang berbatasan dengan mawar dan tanaman merambat berbau harum. Kunci masuk ke lubang dan pintu berayun mulus menyambut. Aku menutupnya dengan lembut di belakangku, bersandar padanya dan mendesah.
Tiba-tiba getar ponsel mengguncang sarafku dan aku bergegas ke dapur untuk mengambil minum. Sambil menahan napas, jantungku berdebar dengan irama dasar yang cepat saat aku menjawab.
"Halo?" kataku.
Hujan di atap bagai ritme genderang rimba, memberi tahuku bahwa aku ada di rumah dan kering.
Bandung, 14 Juni 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H