Aku membiarkan Andi duduk di kursi lorong untuk meregangkan kakinya. Libur Hari Buruh dan sudah pasti bioskop penuh. Setengah jam film berjalan, raungan ponsel yang mencari perhatian mulai menggema. Kedengarannya sangat dekat. Membuat tetangga kami mulai gelisah.
Bersandar ke samping, aku menyenggol putraku. "Apakah ponselmu sudah dimatikan?"
Dia mendengus. Otak penerjemahku sedang bermasalah, jadi aku tidak yakin apakah itu bahasa remaja untuk "Sudah, Ma," atau "Jangan ikut campur, perempuan tua galak."
Ketika Andi lahir, aku berpikir bahwa menjadi orang tua tak lebih seperti melompat ke komidi putar yang berputar dan berputar tanpa henti, hanya untuk menemukan bahwa kamu tidak akan pernah bisa turun lagi.
Dua puluh menit sembilan berlalu dan ponsel kembali berbunyi nyaring. Bisikan kesal terdengar di sepanjang baris kursi kami, seperti dalam rumah sore itu penuh dengan pawang ular.
Aku menangkap kata-kata "dasar tidak tahu etika", "sssh!", dan yang lebih kejam, "matikan, idiot!"
Kali ini aku menafsirkan desis jawabannya sebagai, "Aku nggak bawa handphone, kok!" Karena dia baru saja mendapatkan telepon pinta terbaru - hadiah kejutan dari Julia -- aku merasa hal ini sungguh tak bisa dipercaya.
Setiap lima menit nada dering kembali berkicau. Kedengarannya semakin dekat saja.
Seorang pria menepuk bahu Andi dari kursi di belakang dan menggeramkan usul dan saran yang tidak menyenangkan. Suara massa mengepung di sekitar kami.
"Demi Tuhan, matikan!" suaraku mencicit sangat keras saat soundtrack melunak. Dan kemudian aku melihatnya -- berkedip seperti mercusuar. Sebuah ponsel yang jatuh di antara kursi kami.