Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Debu

30 Mei 2023   09:37 Diperbarui: 30 Mei 2023   13:01 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang sipir di menara membidik. Dia tahu apa yang dilihatnya tidak mungkin, tapi dia tahu pekerjaannya, dan dia punya senjata. Dia membidik jidat Madrun---yang kini berhenti setelah menjatuhkan anggota geng terakhir---dan menarik pelatuknya.

Peluru melesat di udara, mengarah ke bawah ke arah Madrun, berputar perlahan. Dia membekukannya dengan tatapan mata. Madrun memiringkan kepalanya ke satu sisi, dan peluru berputar bersamanya. Matanya berkedip, dan peluru itu melesat, mengubur dirinya sendiri di tembok halaman.

Lebih banyak lagi petugas lapas muncul, keluar dari pintu sel, berteriak-teriak. Mereka mulai menembak.

Madrun menghentikan peluru mereka, mengubah udara di depannya menjadi sendratari timah. Dia menatap sekelilingnya dan, seperti yang akan dikatakan salah satu sipir kepada kepala penjara hari itu, dia sepertinya sedang menghitung jumlah yang tewas.

Madrun menggeliat, mengangkat tangannya ke langit, tangannya bertautan. Peluru yang membeku berdenting jatuh. Dia melemparkan paku ke tumpukan peluru, dan kemudian berjalan menuju petugas.

Mereka berdiri, membeku, mengawasinya mendekat. Di saat-saat terakhir, tiga dari mereka kabur, berlari ke sel dan membanting pintu di belakang mereka. Tapi yang termuda---rekrutan baru, bulan pertamanya bekerja---memegang pistolnya dengan kokoh, mengarahkannya ke dada Madrun.

Madrun menatapnya. Mata sipir muda itu menatap matanya. Dia berkedip beberapa langkah terakhir, dan petugas lapas jatuh ke belakang, pantat duluan. Mendengus napas terengah-engah, lenguh dari bibirnya.

Madrun berjongkok sampai dia dan sipir itu berhadap-hadapan. Percikan darah kecil bertebaran di dada kemeja penjaranya, membentuk polanya sendiri.

Dengan santai, dia mengulurkan tangan dan mengambil pistol dari genggaman sipir. Nama penjaga itu adalah Sarjono dan matanya melebar sebesar piring. Dia menjilat bibirnya yang kering saat Madrun memutar pistolnya ke sana kemari.

"Bisakah kamu berhenti menembakku?" bibir Madrun menggumam.

Tanpa sadar, Sarjono mengangguk. Madrun memberinya senyum yang paling mempesona---muncul entah dari mana dan, Sarjono kemudian memberi tahu istrinya, seperti senyuman seorang bocah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun