Madrun berjongkok di halaman penjara, menggambar lambang di atas debu.
Dia mencengkeram ranting di antara ibu jari dan telunjuknya, dengan lembut meletakkan lingkaran, sandi, dan kode menjadi spiral tak berujung, berputar keluar dari kakinya. Kadang-kadang dia menggali ranting itu jauh ke dalam bumi, mencungkil sedikit tanah. Lebih sering, dia mengetuk dan menggores dan mengais sampai detail halus muncul.
Dia telah menggambar selama hampir satu jam, berjongkok. Rasa sakit di pinggulnya sudah lama terlupakan. Lidahnya sedikit menjulur keluar dari sudut kiri mulutnya, tanda seru merah muda kecil di kulit wajahnya yang gelap. Dagunya menonjol, dan dia menatap lambang-lambang dari bawah kacamatanya. Sesekali, dia perlahan mengangkat jari yang kotor dan mendorongnya lebih jauh ke atas hidungnya, tidak pernah mengalihkan pandangan dari pekerjaannya.
Ini adalah kabar baik bagi pria yang berjalan ke arahnya.
Para narapidana lain  menamai pria itu Muka Tikus. Tidak ada yang tahu kenapa. Dia tidak mempertanyakan apa yang dikatakan orang lain di sel itu. Ketika mereka mengatakan kepadanya bahwa jika dia ingin tetap hidup, dia harus membuktikan dirinya, dan dia hanya mengangguk. Dan ketika mereka mengatakan untuk membuktikan dirinya, dia harus membunuh tahanan lain, dia mengangguk lagi. Sejauh pemikiran Muka Tikus, di dalam penjara, jika mengangguk pada semua yang mereka katakan kepadamu di  kamu akan baik-baik saja.
Masalahnya, tentu saja, dia tidak pernah benar-benar membunuh siapa pun. Dia memberi tahu yang lain bahwa pasal yang dituduhkan padanya adalah pembunuhan. Bahkan sebelum dia bisa menutup mulut, mereka tertawa dan mengatakan bahwa dalam kasus itu, dia tidak akan mendapat masalah dengan tugas itu. Tapi saat dia mendekati sosok bungkuk yang mencoret-coret debu, dia merasakan tusukan udara dingin di punggungnya yang tidak ada hubungannya dengan angin yang bertiupkencang.
Tangkai sikat gigi ada di tangannya. Kepala geng-- preman besar dengan satu mata picek bernama Johnson--memberikannya kepadanya. Benda itu telah dicairkan dan didinginkan dan dilelehkan dan didinginkan lagi dan ditanam paku tipis setipis pisau.
Muka Tikus menangkupkannya di telapak tangannya, dengan paku terletak di sepanjang bagian dalam pergelangan tangannya. Tangannya berputar untuk menyembunyikannya dari pandangan luar. Keringat mengalir di jari-jari, menggenang di telapak tangannya.
Dia bisa merasakan mata Johnson menatapnya dari sisi lain halaman lapas. Dia bisa merasakan semua mata tertuju padanya.
Tidak ada yang akan merindukan Madrun, katanya pada diri sendiri. Dia baru sehari di sini. Muka Tikus melihatnya datang kemarin, dan bajingan itu bersiul. Dia sedang berjalan menyusuri lorong sialan di depan sel dengan kacamata konyol itu, memegangi seprainya, bersiul.
Tentu, tentu, aku bisa membunuhnya, pikir Muka Tikus. Dia pantas mendapatkannya. Bajingan kecil. Lihat lagaknya.
Madrun bersenandung tanpa nada, bersiul dengan lidah keluar dari sisi mulutnya seperti uap basah. Dia sedang menggambar simbol terakhir dari lingkaran terluar, sebuah lengkungan halus, menelusuri bentuk di tanah, membengkokkannya di sebuah batu. Hampir sampai.
Dia tidak mendengar Muka Tikus muncul di belakangnya. Dia tidak mendengarnya memutar paku sehingga menonjol dari tangannya seperti jari yang cacat. Dia bahkan tidak mendengar dengus napas Muka Tikus yang menjadi kasar, cepat, dan pendek.
Tapi dia mencium bau keringat Muka Tikus. Madrun merasakan udara di belakangnya bergeser. Dia melihat cahaya sedikit berubah. Dia terus bekerja, memberi sentuhan terakhir pada lambang itu, sebuah titik kecil di tanah. Dia melakukan ini tepat saat Muka Tikus mengayunkan paku menuju tulang belikatnya, bersamaan dengan Madrun berkedip dan menghilang.
Tanpa tubuh untuk ditusuk, serangan Muka Tikus jauh lebih jauh dari yang dia perkirakan. Dia jatuh ke tanah, merusak karya Madrun. Awan debu meledak di sekujur tubuhnya. Mulutnya yang terkejut membentuk huruf O.
Madrun muncul kembali di hadapannya, Â tepat di tempat dia mengayunkan paku ke bawah. Muka Tikus menatap. Mulutnya ingin membentuk kata-kata, tapi otaknya tidak mengizinkannya.
Madrun mengulurkan tangan dan mencabut paku dari tangan Muka Tikus. Dia mengangkatnya ke arah cahaya, seolah mempelajari ketidaksempurnaannya. Kemudian, dalam satu gerakan, dia mengulurkan tangan dan memasukkannya ke tenggorokan Muka Tikus.
Saat itu juga, gerombolan di ujung lain halaman berteriak. Mereka berlari ke arahnya, wajah mereka dipenuhi amarah dan ketakutan.
Madrun berdiri, menarik paku itu, dan berkedip ke salah satu satu dari mereka, seorang pria dengan kuncir kuda berminyak. Madrun menangkapnya, memasukkan paku ke dalam dan ke luar seperti mata tombak. Dia mulai bersenandung lagi.
Yang lain membeku, berhenti setengah langkah, menatap ngeri. Mereka mencoba lari, tetapi Madrun hanya bergerak bersama mereka, muncul dan menghilang.
Darah menodai debu hitam.
Seorang sipir di menara membidik. Dia tahu apa yang dilihatnya tidak mungkin, tapi dia tahu pekerjaannya, dan dia punya senjata. Dia membidik jidat Madrun---yang kini berhenti setelah menjatuhkan anggota geng terakhir---dan menarik pelatuknya.
Peluru melesat di udara, mengarah ke bawah ke arah Madrun, berputar perlahan. Dia membekukannya dengan tatapan mata. Madrun memiringkan kepalanya ke satu sisi, dan peluru berputar bersamanya. Matanya berkedip, dan peluru itu melesat, mengubur dirinya sendiri di tembok halaman.
Lebih banyak lagi petugas lapas muncul, keluar dari pintu sel, berteriak-teriak. Mereka mulai menembak.
Madrun menghentikan peluru mereka, mengubah udara di depannya menjadi sendratari timah. Dia menatap sekelilingnya dan, seperti yang akan dikatakan salah satu sipir kepada kepala penjara hari itu, dia sepertinya sedang menghitung jumlah yang tewas.
Madrun menggeliat, mengangkat tangannya ke langit, tangannya bertautan. Peluru yang membeku berdenting jatuh. Dia melemparkan paku ke tumpukan peluru, dan kemudian berjalan menuju petugas.
Mereka berdiri, membeku, mengawasinya mendekat. Di saat-saat terakhir, tiga dari mereka kabur, berlari ke sel dan membanting pintu di belakang mereka. Tapi yang termuda---rekrutan baru, bulan pertamanya bekerja---memegang pistolnya dengan kokoh, mengarahkannya ke dada Madrun.
Madrun menatapnya. Mata sipir muda itu menatap matanya. Dia berkedip beberapa langkah terakhir, dan petugas lapas jatuh ke belakang, pantat duluan. Mendengus napas terengah-engah, lenguh dari bibirnya.
Madrun berjongkok sampai dia dan sipir itu berhadap-hadapan. Percikan darah kecil bertebaran di dada kemeja penjaranya, membentuk polanya sendiri.
Dengan santai, dia mengulurkan tangan dan mengambil pistol dari genggaman sipir. Nama penjaga itu adalah Sarjono dan matanya melebar sebesar piring. Dia menjilat bibirnya yang kering saat Madrun memutar pistolnya ke sana kemari.
"Bisakah kamu berhenti menembakku?" bibir Madrun menggumam.
Tanpa sadar, Sarjono mengangguk. Madrun memberinya senyum yang paling mempesona---muncul entah dari mana dan, Sarjono kemudian memberi tahu istrinya, seperti senyuman seorang bocah.
Madrun mengulurkan pistolnya, masih menyeringai, memberi isyarat pada Sarjono untuk menerimanya. Kemudian dia berkedip kembali ke tengah halaman kosong.
Sarjono memperhatikan Madrun mencari-cari rantingnya, menghembiskan napas lega saat melihatnya. Dia berjongkok lagi, dan mulai menggambar, mensketsa lebih banyak lambang ke dalam debu.
Cikarang, 30 Mei 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H