Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Zombie! Zombie! 4 - 3

9 Mei 2023   22:20 Diperbarui: 9 Mei 2023   22:25 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Aku mengalihkan perhatianku ke si rambut merah satu lagi yang berdiri di belakangnya, bertanya-tanya bagaimana aku bisa tak melihatnya sebelumnya. Gadis itu berusia sekitar dua puluhan. Dia mengenakan gaun malam dengan leher V rendah dan dia sendiri cantik. Meskipun dia tidak berbicara, raut wajahnya yang pucat menunjukkan apa yang perlu aku ketahui: Dia ketakutan setengah mati.

Surya menerobos sepetak tumbuhan. "Aku berharap kita bisa bertemu dalam keadaan yang lebih baik."

"Ya, sudah tidak mungkin lagi dengan keadaan sekarang," kata Chinta, mendorong dahan yang menjuntai ke samping.

"Jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja," kataku mencoba meredakan ketegangannya.

"Oh ya?" jawabnya dengan nada sinis. "Itulah yang dikatakan kelompok manusia terakhir yang kami temui padaku. Kamu tahu? Mereka semua sudah mati sekarang."

"Oh, sungguh?" Surya balas mengejek. Dia benci diremehkan. "Yah, mungkin lain kali, mereka harus mempertimbangkan senjata yang lebih kuat daripada pistol bius."

Saat kami berjalan, Surya berbalik untuk membalas tatapan si rambut merah. "Berapa banyak zombie yang membuntuti kalian?"

"Banyak --- tidak tahu pasti berapa banyak, tapi ada banyak. Ini sangat menyebalkan. Kami sudah aman selama berbulan-bulan. Kami memiliki tempat persembunyian yang sempurna, sebuah rumah besar di sebelah selatan kota. Kami punya makanan, pakaian, perbekalan, semuanya, tapi tentara membombardirnya kemarin."

Itu menjelaskan mengapa gadis-gadis ini tidak mengenakan celana kargo dan sepatu bot tempur seperti aku dan Surya. Sandal yang mereka bawa tidak akan ada gunanya jika terpaksa menginjak genangan darah atau harus memanjat tumpukan mayat. Mereka membuat kesalahan dengan merasa nyaman, sesuatu yang tak seorang pun boleh melakukannya di Zona Zombie. Satu-satunya tempat yang aman adalah di kota yang terlindung di balik tembok, dengan kekuatan militer yang mendukungnya---atau bahkan lebih baik lagi: sebuah pulau reklamasi seperti yang pernah kami tempati di Teluk Jakarta.

Chinta mengerutkan kening saat dia melirik dariku ke Keiko yang masih terbaring tak sadarkan diri di pelukanku. "Siapa dia?"

"Kami selamat dari kecelakaan helikopter," kataku.

"Oh, sangat mengerikan," kata Chinta. "Aku minta maaf. Aku senang kau bisa keluar sebelum helikopter kalian meledak."

"Itu kalian?" kata Zahra sambil berjalan cepat. "Kami melihat api dan asap di dasar bukit setelah kami mendakinya, dan kemudian helikopter---milikmu, kurasa---terbakar. Kami berharap tidak ada yang terluka."

"Kecelakaan itu tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang akan kita hadapi," kata Surya.

Kami terus berjalan selama beberapa menit, mengikuti jalan yang kuharap akan menuju ke suatu tempat. Akhirnya, kami berbelok di buah tikungan dan berhenti untuk mengintip ke sebuah rumah kaca dua lantai yang besar bergaya kontemporer. Sepertinya menangkap sinar matahari dari setiap sudut. Rumah siapa, kira-kira?

"Kita bisa bersembunyi di sana, kan?" Chinta dengan cemas menuju ke arah itu.

Nick melesat mengejarnya. "Tunggu. Aku perlu tahu persis berapa banyak dari apa yang kalian ceritakan. 'Banyak' tidak berarti apa pun. Bisakah kalian menyebutkan angka yang lebih spesifik? Lima? Lima puluh? Kalau itu kawanan zombie  dan mereka bersembunyi di rumah itu, sama saja ini adalah misi bunuh diri. Kita terjebak tanpa jalan keluar."

"Ada sekitar empat atau lima dari mereka," seru Zahra kepadanya.

"Baik. Bukan masalah sama sekali. Aku yakin pasti bisa menangani empat atau lima, "kata Surya, terdengar yakin pada dirinya sendiri.

"Untung kami bertemu denganmu kalau begitu." Chinta tersenyum malu-malu, matanya berbinar-binar menatap Surya. Jelas, seandainya situasinya berbeda, dia tidak akan ragu untuk menyatakan cinta pada abangku, tetapi hari-hari romansa asrama remaja sudah berakhir. Di antah berantah, dikelilingi oleh mayat hidup yang lapar berat, hanya ada sedikit waktu untuk bertukar nomor telepon. Yang lebih penting dari pada jatuh cinta adalah saling berbagi cara bagaimana menghindari gigitan zombie.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun