"Kami selamat dari kecelakaan helikopter," kataku.
"Oh, sangat mengerikan," kata Chinta. "Aku minta maaf. Aku senang kau bisa keluar sebelum helikopter kalian meledak."
"Itu kalian?" kata Zahra sambil berjalan cepat. "Kami melihat api dan asap di dasar bukit setelah kami mendakinya, dan kemudian helikopter---milikmu, kurasa---terbakar. Kami berharap tidak ada yang terluka."
"Kecelakaan itu tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang akan kita hadapi," kata Surya.
Kami terus berjalan selama beberapa menit, mengikuti jalan yang kuharap akan menuju ke suatu tempat. Akhirnya, kami berbelok di buah tikungan dan berhenti untuk mengintip ke sebuah rumah kaca dua lantai yang besar bergaya kontemporer. Sepertinya menangkap sinar matahari dari setiap sudut. Rumah siapa, kira-kira?
"Kita bisa bersembunyi di sana, kan?" Chinta dengan cemas menuju ke arah itu.
Nick melesat mengejarnya. "Tunggu. Aku perlu tahu persis berapa banyak dari apa yang kalian ceritakan. 'Banyak' tidak berarti apa pun. Bisakah kalian menyebutkan angka yang lebih spesifik? Lima? Lima puluh? Kalau itu kawanan zombie  dan mereka bersembunyi di rumah itu, sama saja ini adalah misi bunuh diri. Kita terjebak tanpa jalan keluar."
"Ada sekitar empat atau lima dari mereka," seru Zahra kepadanya.
"Baik. Bukan masalah sama sekali. Aku yakin pasti bisa menangani empat atau lima, "kata Surya, terdengar yakin pada dirinya sendiri.
"Untung kami bertemu denganmu kalau begitu." Chinta tersenyum malu-malu, matanya berbinar-binar menatap Surya. Jelas, seandainya situasinya berbeda, dia tidak akan ragu untuk menyatakan cinta pada abangku, tetapi hari-hari romansa asrama remaja sudah berakhir. Di antah berantah, dikelilingi oleh mayat hidup yang lapar berat, hanya ada sedikit waktu untuk bertukar nomor telepon. Yang lebih penting dari pada jatuh cinta adalah saling berbagi cara bagaimana menghindari gigitan zombie.
BERSAMBUNG