"Kamu udah gila, ya?" Tiwi mencengkeram lengannya untuk menariknya lebih dekat, tetapi Miko berhasil melepaskannya.
"Ini bukan waktu atau tempat untuk bermain tarzan-tarzanan, Mik. Dengar, kita harus tetap dekat dengan api."
Miko menyibak dahan-dahan ke samping, melangkah lebih jauh ke dalam hutan lebat, dan kemudian berdiri tegak untuk mendengarkan. "Nggak kelihatan apa-apa."
Tiwi melangkah di antara tanaman tropis yang menjulang tinggi dengan daun lebar seperti telinga gajah. Dia menyipitkan mata agar dapat mengamati menembus tanaman hitam dan hijau berbintik-bintik. "Aku juga tidak melihat apa-apa."
Raungan itu terdengar kembali.
Tiwi menelan ludah, jantungnya berdebar kencang.
"Apa itu?"
"Gue rasa itu suara alouatta, monyet pelolong." Zaki mengubah posisinya saat dia mengintip melalui dedaunan raksasa. "Setau gue mereka adanya di Brasil. Suaranya kedengaran sampai berkilo-kilometer, dan panggilan mereka lebih seperti raungan daripada lolongan. Gue yakin ini masalah rebutan wilayah."
Tiwi menghembuskan napas kencang. "Tapi kenapa ada di sini? Kita tidak berada di Amerika Selatan."
Zaki mengangkat bahu. "Gue nggak punya ide. Mik, menurut lu apa?"
"Mungkin ada binatang peliharaan lepas."
Tiwi meletakkan tangannya di dada mencoba menenangkan detak jantung yang berdebar kencang. "Apa pun mungkin. Kalau itu monyet, aku nggak akan stres begini."
Kicauan burung semakin ramai, mengalahkan deburan ombak yang berirama di pantai. Tiwi menganggap itu sebagai pertanda baik. Dia tahu satwa liar biasanya bungkam ketika pemangsa mendekat. Burung-burung hanyalah bukti bahwa semuanya baik-baik saja.
Tiwi mencolek bahu Miko. "Aku tidak percaya kamu di sini mengejar binatang liar. Kabelmu ada yang korslet, ya? "
Dia tersenyum, menggelengkan kepalanya. "Lu bikin gue kedengaran kayak orang gila."
"Emang kamu waras?" Tiwi bertanya sambil meninju bahu Miko.
"Seperti kata salah satu mantan gue ..." Miko mengedipkan sebelah mata. "Gue cacat mental berat."
Tiwi tertawa. Besba biasa mengatakan itu tentang Miko. Setiap cowok di sekolah mereka bermimpi berkencan dengan Besba yang cantik. Lucu juga Miko menyebutnya sebagai 'pacar' setelah Miko mencampakkannya setelah berkencan hanya dua bulan. Tapi itu rekor bagi Miko.
Kalau cewek secantik Besba tidak bisa mempertahankan Miko, pikir Tiwi, bagaimana mungkin dia bisa menjinakkannya?
Besba benar tentang Miko sebagai "cacat yang keren," karena kekurangannya membuat Miko menjadi cowok unik dan satu-satunya. "Bagaimana kamu tetap begitu tenang, sih?"
"Gue mikrin yang lucu-lucu, kayak model rambut Zak," bisik Miko di telinganya.
Tiwi tersenyum sambil menatap Zaki. Cewek mana yang tidak ingin mengacak-acak rambut hitam jagoan basket yang kusut masai itu? Rambut itu, mata biru itu, dan tubuh yang atletis itu, Zaki benar-benar menarik. Tapi begitu juga Miko, lengkap dengan model rambut peselancar yang sangat disukai para gadis.
Raungan gemuruh lainnya bergema melalui hutan. Kali ini, semuanya menjadi sunyi, kecuali debur ombak doi lautan.
Mata Miko melebar, dan kepalanya perlahan menoleh ke arah suara gemuruh. "Gue benar-benar berharap monyet itu udah disuntik anti rabies."
Jantung Tiwi mencelos mendengar suara itu. Sama sekali tidak terdengar seperti suara monyet. Imajinasinya tentang apa yang mungkin membuat perutnya mulas bagai diikat menjadi simpul ganda.
Dia sangat ingin memercayai Zaki---bahwa itu hanyalah monyet yang tidak berbahaya, yang melolong dari jarak berkilo-kilometer jauhnya. Tetapi di dunia dengan dua matahari, air berwarna-warni, capung monster, pasir bercahaya, dan laba-laba seukuran bola basket, siapa yang tahu makhluk gila macam apa yang menunggu untuk menyerang mereka?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H