"Mau minum apa? Kopi? Ada kopi dari Afrika." Dan karena rasa kopinya yang lemak nian, aku punya sense itu kopi jenis Liberica. Mungkin dari Kongo. Ini cuma tebak-tebakan, pamer dikit kalau sempat jadi barista jadi-jadian.
Dari Mas Tasch, aku mendapat hibah dua lukisan yang menjadi ilustrasi sampul "Prosa kopi esai dari pinggiran". Masih aku biarkan dalam plastik bubble wrapping karena lebih aman begitu sebelum ditentukan bakal pajang di mana. Jangan tanya berapa harganya, nanti aku dikejar Sri Mulyani.
Sambil ngopi bincang-bincang kami mengalir bagai bendungan jebol menganak samudra. Dari Barat ke Timur, Sabang - Merauke, Utara ke Selatan, Miangas - Pulau Rote, kadang-kadang loncat juga ke Australia.
 Yang dominan, kami membicarakan keprihatinan terhadap pengarsipan karya seniman dan maestro Nusantara. Tidak hanya karya tulis, tapi juga teater dan film (reel, naskah drama, skenario), musik (rekaman, partitur) sastra daerah, naskah kuno, dan banyak lagi.
Tulisan beliau sebanyak seribu lebih artikel lenyap karena harddisk eksternal tak lagi terbaca. Aku bisa merasakan kegalauan beliau, karena meski tidak sebanyak Mas Tasch, aku juga mengalami hal yang sama. Naskahku juga hilang di harddisk, di platform lokal yang mendadak mendiang (termasuk platform di mana Mas Pepih pendiri Kompasiana menjadi stakeholder).
Ada kegalauan Mas Tasch terkait dengan penerbitan karya literatur, manakala penerbit arusutama hanya tertarik dengan karya penulis yang sudah punya nama besar, mainstream atau  sedang hype, sehingga sulit untuk penulis baru menembus dunia literasi. Tapi aku bilang, masih ada penerbit, yang meski bukan arusutama, siap melestarikan karya yang tidak dilirik penerbit besar, non konvesional, atau bahkan eksperimental. Contohnya: pimedia.
Aku sarankan Mas Tasch untuk bikin kanal youtube tentang teater. Ternyata aku bukan orang pertama yang mengajukan saran tersebut.
"Malu," kata Mas Tasch. Â
Ada orang teater pemalu!
Pokoknya, bincang-bincang aku dan Mas Tasch seru nggak habis-habis dan baru berhenti setelah istriku menelepon. "Jadi balik sore ini?"
Ternyata kami sudah mengobrol ngalor ngidul tiga jam non stop, sodara-sodara!