Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salam Cinta dari Taufan S. Chandranegara

3 Mei 2023   11:57 Diperbarui: 3 Mei 2023   11:58 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Sesuai dengan percakapan via audiocall di hari Buruh sedunia, Senin, kemarin siang aku berkunjung ke rumah Mas Taufan S. Chandranegara di bilangan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten.

"Assalamu'alaikum," suluk salam kuucapkan ke dalam rumah yang pintunya terbuka.

"Wa'alaikum salam," jawaban yang disusul sosok pemilik suara muncul dari balik tembok kamar sebelah.

Ini pertemuan pertamaku dengan Mas Tasch (panggilan beliau), setelah sebelumnya berkali-kali gagal mewujudkan tatap muka langsung dengan salah satu pentolan Teater Koma dan pendiri Dur Teater, seniman lukis dan visual yang sudah memamerkan karya seni diberbagai art event, (mengaku) kernet angkot di Kompasiana....

"Maaf ... rumah masih berantakan. Maklum, sendirian aja. Ada anak angkat yang baru pulang menjelajah negeri. Jadi ada yang bantuin beres-beres. Anak-anak nggak di sini."

Aku tahu Mas Tasch masih dalam suasana berduka karena istri meninggal. Tak lama kemudian, Nano Riantiarno, pendiri Teater Koma, guru dan pembimbing beliau juga meninggal karena kanker paru-paru.

Meski rambut putih  merata, sulit menebak usia beliau yang sebenarnya. Mas Tasch terlihat muda dan energik. Berbeda dengan gambaranku dari mengikuti kiprah Mas Tasch di dunia maya yang membayangkan bertubuh kurus seperti umumnya seniman, aslinya padat berbobot.

"Ini bukunya, Mas," kataku, menyodorkan dua buku baru terbitan Pimedia karya beliau.

Sebetulnya sudah berapa kali sebelumnya aku berniat untuk menyambangi rumah di Pondok Aren tersebut, tetapi malu karena  bukunya belum jadi.

Dua buku berupa antologi "Prosa kopi esai dari pinggiran" dan novel silat alegori "Cogan alam purnama" kumpulan tulisan Mas Tasch di kompasiana dan indonesiana. Sudah aku tekadkan sejak dari awal aku mendirikan Pimedia, bahwa kami harus berhasil mendapatkan hak untuk menerbitkan karya tulis beliau, dan karena usahaku tidak sia-sia, rasanya gimana... gitu. Senang pakai banget.

 "Mau minum apa? Kopi? Ada kopi dari Afrika." Dan karena rasa kopinya yang lemak nian, aku punya sense itu kopi jenis Liberica. Mungkin dari Kongo. Ini cuma tebak-tebakan, pamer dikit kalau sempat jadi barista jadi-jadian.

Dari Mas Tasch, aku mendapat hibah dua lukisan yang menjadi ilustrasi sampul "Prosa kopi esai dari pinggiran". Masih aku biarkan dalam plastik bubble wrapping karena lebih aman begitu sebelum ditentukan bakal pajang di mana. Jangan tanya berapa harganya, nanti aku dikejar Sri Mulyani.

Sambil ngopi bincang-bincang kami mengalir bagai bendungan jebol menganak samudra. Dari Barat ke Timur, Sabang - Merauke, Utara ke Selatan, Miangas - Pulau Rote, kadang-kadang loncat juga ke Australia.

 Yang dominan, kami membicarakan keprihatinan terhadap pengarsipan karya seniman dan maestro Nusantara. Tidak hanya karya tulis, tapi juga teater dan film (reel, naskah drama, skenario), musik (rekaman, partitur) sastra daerah, naskah kuno, dan banyak lagi.

Tulisan beliau sebanyak seribu lebih artikel lenyap karena harddisk eksternal tak lagi terbaca. Aku bisa merasakan kegalauan beliau, karena meski tidak sebanyak Mas Tasch, aku juga mengalami hal yang sama. Naskahku juga hilang di harddisk, di platform lokal yang mendadak mendiang (termasuk platform di mana Mas Pepih pendiri Kompasiana menjadi stakeholder).

Ada kegalauan Mas Tasch terkait dengan penerbitan karya literatur, manakala penerbit arusutama hanya tertarik dengan karya penulis yang sudah punya nama besar, mainstream atau  sedang hype, sehingga sulit untuk penulis baru menembus dunia literasi. Tapi aku bilang, masih ada penerbit, yang meski bukan arusutama, siap melestarikan karya yang tidak dilirik penerbit besar, non konvesional, atau bahkan eksperimental. Contohnya: pimedia.

Aku sarankan Mas Tasch untuk bikin kanal youtube tentang teater. Ternyata aku bukan orang pertama yang mengajukan saran tersebut.

"Malu," kata Mas Tasch.  

Ada orang teater pemalu!

Pokoknya, bincang-bincang aku dan Mas Tasch seru nggak habis-habis dan baru berhenti setelah istriku menelepon. "Jadi balik sore ini?"

Ternyata kami sudah mengobrol ngalor ngidul tiga jam non stop, sodara-sodara!

 Aku memesan ojol, dan pulang dengan mencangking dua lukisan yang menjadi koleksi kebanggaanku.

Terima kasih banyak, Mas Tasch. Karya-karyanya ditunggu para penggemar di seluruh dunia.

Salam hangat.

I.H

Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Cikarang, 3 Mei 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun