Bronson telah menyatakan alasan kunjungannya dengan kecemasan yang begitu nyata, sehingga para anak buah yang terkait permintaannya diperintahkan oleh Kawat untuk membiarkannya masuk.
Bilik Kawat berada di bagian paling bawah kapal, jauh di dalam palka bawah air. Ruangan itu kecil, hampir tiga kali tiga meterdan setengah diisi oleh Kawat sendiri di sofa kulit putih yang rangkanya dia buat sendiri. Kandang kecil itu dipenuhi asap dari rokok klembak menyan yang tak pernah lepas dari bibirnya, terperangkap tersebab kurangnya jendela dan tidak punya tempat untuk pergi selain menetap di seluruh sisa ruang kosong. Kursi lipat aluminium kecil adalah satu-satunya perabot lain di ruangan itu.
Bronson tetap berdiri, nyaris tidak melihat Kawat, dan nyaris tidak mendengarnya juga. Kawat mulai menceramahinya begitu Bronson menutup pintu atas perintahnya. Apa yang dia katakan terdengar seperti ini bagi Bronson:
"Bemesleheh kelengbeh umehui gedehui tembe lekum, merihwan! Sem slegis cuih, epu ferto grehs?"
Bronson mengangguk dan terus mendengarkan, perlahan-lahan menjadi terbiasa dengan gumaman yang bergemuruh, dan akhirnya menentukan bahwa Kawat mungkin berbicara dengan dialek Ibrani kuno. Kawat terkenal mengaku dirinya sebagai seorang terpelajar dan senang pamer. Dia membuka gulungan peta Besar Dunia versi pra-Marco Polo dan menunjuknya dengan cerutunya. Setelah beberapa saat, monolognya mereda dan dalam keheningan yang mencekam, Bronson dengan gugup angkat bicara.
Dia memberi tahu Kawat tentang pertemuan Sony Sapuijo dengan Gogon Aruana di tepi sungai, dan kemudian menunggu lama dalam bau apak tembakau kemenyan dan kesuraman sementara Kawat menimbang-nimbang kisahnya itu.
"Kupikir kau yang menghabisi anak itu," gerutu Kawat akhirnya.
"Aku memang membunuhnya," jawab Bronson. "Mati seperti jamur kuping. Menguburnya juga, seperti yang kau perintahkan padaku."
"Dan kau sudah menaburkan kuburannya dengan cabe gendot dan daun kelor?"
"Daun kelor?" Bronson tergagap. "Aku tidak ingat apa-apa tentang daun kelor!"
Kawat terdiam cukup lama. Bronson melirik gugup ke arahnya, berharap dia ada di mana saja kecuali di sini. Dia menyadari bahwa dia telah mengacau, tetapi semuanya adalah misteri baginya. Bronson sangat percaya akan takhayul, tetapi bahkan ketidaktahuannya ada batasnya.
Daun kelor? tanyanya dalam hati. Konyol.
Kawat bagaikan mampu membaca pikirannya, berbicara dengan nada yang lebih keras untuk menunjukkan kemarahannya yang optimal.
"Cabe gendot untuk membakar jiwanya, tentu saja. Daun untuk membuatnya tetap di dalam tanah!"
"Tetap di...?" Bronson memberanikan diri.
"Di dalam tanah," jawab Kawat tegas. "Jadi sekarang dia kau bilang dia kembali. Yah, tidak heran. Kerja setengah-setengah lebih buruk daripada tidak dikerjakan sama sekali."
"Kok gitu, sih?" tanya Bronson.
"Karena kau gagal menyelesaikan tugasmu," Kawat menjawab dengan tenang.
"Aku tahu itu" kata Bronson. "Maksudku, mengapa dia kembali?"
"Oh, kenapa dia jadi zombie? Banyak sebab," Dennis menjadi lebih santai dan duduk kembali di sofanya. Dia sudah berhasil mengatasi kekesalannya.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H