Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Nggak Gampang "Hidup" Sebagai Zombie (Dua Puluh)

25 April 2023   10:10 Diperbarui: 25 April 2023   10:05 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya....

"Kamu pasti gila," begitulah reaksi Kriting terhadap berita Sony dan Inces baru saja melihat Gogon Aruana secara langsung malam itu juga.

"Dia sudah mati seperti yang orang yang sudah mati", kata Bronson yakin.

"Kalau begitu orang mati yang ini bisa kabur dengan cepat," kata Sony. "Gogon kecil daru dulu selalu lari cukup cepat."

"Matinya juga cepat, kok," dengus Bronson, dan meludahkan dahaknya sejauh tiga meter ke air mancur. "Satu tusukan dan dia langsung jatuh tak sadar diri."

"Faktanya jelas," Kriting mengangguk.

"Yang aku tahu," Pelor Kambing menambahkan, "bocah itu mengirimkan paket yang salah ke alamat yang salah."

"Intinya adalah", kata Sony, "Gogon Aruana sekarang jalan-jalan seperti aku dan kalian."

"Kalau dia bisa jalan-jalan," kata Bronson, "dia pasti zombie atau semacamnya. Anak itu sudah jadi bangkai."

"Baik, baik", Sony melambaikan tangannya. "Kau tak perlu terus mengulang-ulang. Zombie, kek, mayat hidup, kek, hantu, kek, apa pun itu, intinya, apa yang akan kita lakukan?"

"Kau tahu di mana dia?" tanya Kriting.

"Tidak," Inces mengaku. "Tapi kita bisa menemukannya. Dia mengatakan sesuatu tentang Kokom Mariah, dan perempuan itu tahu segalanya tentang semua orang di sini."

"Tambah sial", gumam Sony. "Mungkin tidak akan membantu kita, tapi ini permulaan. Inces akan mencoba mencari tahu dari Kokom. Sementara itu, kita berpencar. Dia pergi menyusuri tepi sungai, mungkin menghantui tepi laut. Hah, menghantui!" Sony menertawai leluconnya sendiri.

"Jangan mencolok", tambah Inces. "Gogon sebaiknya sadar bahwa dia sudah mati kalau orang yang salah menemukannya."

"Kurasa itu pasti membuatnya mati, karena kita adalah orang yang salah!" Pelor Kambing terkekeh-kekeh.

Tidak ada yang memperhatikan Kriting dan Bronson yang sedang termenung bareng. Kakak beradik itu sama sekali tidak senang dengan gagasan untuk keluar dan melacak orang mati yang masih hidup.

***

Pada kenyataannya, Bronson sangat ketakutan. Dia menyuruh Kriting pulang dan diam di rumah, sampai dia menyelesaikan masalah Gogon. Sebagai saudara laki-laki, dia selalu memperhatikan Kriting, dan berusaha menjauhkannya dari usaha yang bertentangan dengan hukum. Kriting baik-baik saja dengan itu. Dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam mengangkat beban dan mendengarkan musik dangdut pantura untuk senam zumba, sementara Bronson mengurus 'bisnis'.

Bronson tahu persis ke mana dia harus pergi. Markas Samboye, kasino terapung di Sungai Cipoa.

Pemiliknya adalah Samboye Defrit yang legendaris. Kapal tua yang kandas di sungai adalah tempat segala keputusan penting dunia bawah terjadi.

Sony dan gengnya, menurut peraturan, tidak diizinkan masuk karena status mereka sebagai cecunguk kelas rendah, tetapi pengecualian dibuat untuk Bronson karena orang tuanya telah melakukan beberapa prestasi legendaris pada zamannya.

Tak pernah ada manusia luar yang dapat menemui Bang Samboye. Tidak pernah. Level tertinggi yang bisa diharapkan untuk dicapai adalah audiensi dengan tangan kanannya, seorang lelaki pendek bertubuh lebar gempal yang hanya dikenal sebagai Moro 'Kawat'. Kawat berbicara dengan suara yang begitu dalam dan lembut, sehingga tidak ada yang pernah bisa yakin persis apa yang dia katakan. Kawat tidak suka bicara apapun selain tentang leluhurnya, yang telah diseret melintasi lautan di luar kehendak mereka ratusan tahun yang lalu.

Pertemuan dengan Kawat membutuhkan setidaknya setengah jam pidato mukadimah yang tidak bisa dimengerti.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun