"Bagaimana aku apanya?" Aghea bertanya dengan mimik lucu. Yang lain di sekeliling meja tertawa. "Kami semua bisa mengendalikan elemen."
Dia melihat ekspresi bingung di wajah Sarritha. "Rambut," dia menunjuk yang lain. "Menunjukkan bahwa kita memegang kendali penuh atas kekuatan kami."
"Kekuatan?" Sarritha berseru kaget.
"Ya. Kekuatan." Aghea menyipitkan matanya. "Kamu harus punya kekuatan. Kamu adalah salah satu dari kami."
"Tidak, aku tak punya. Aku baru saja sampai. Aku bahkan tidak tahu di mana ini."
Sarritha mulai panik. Awan badai kembali muncul di cakrawala dan menuju ke arah mereka. Aghea meraih tangan Sarritha dan rasa tentram yang aneh menguasainya. Dia merasakan bumi bergetar kecil di kakinya.
"Sarritha, tidak perlu takut." Dia menatap mata Aghea. "Kita berteman."
"Di mana aku?" tanyanya.
"Kita ada di pikiran kita."
"Pikiran kita?"
"Ya, pikiran kita. Kami adalah kamu dan kamu adalah setiap dari kami."
"Tidak," katanya sambil berdiri dan melepaskan tangannya dari genggaman Aghea. "Aku Sarritha."
"Dan aku Aghea, itu Feshia, Luminna, Aqilla dan Darshia." Badai datang menghampiri.
Guntur dan angin kencang bertiup di sekitar mereka. Aghea mencoba mengatakan sesuatu padanya. Mereka mulai berpegangan tangan, tetapi Sarritha takut.
Angin badai membawanya naik, dan dia merasa dia naik lebih tinggi dan lebih tinggi, lebih cepat dan semakin cepat.
Dia berteriak---
Dan tiba-tiba Sarritha duduk, menemukan dirinya di tempat tidur yang aneh. Dia melihat sekeliling ruangan dan melihat pakaian yang tergantung di lemari. Seragam Thozai.
Dia melompat dari tempat tidur dan berlari keluar. Matahari bersinar di timur tanda saat itu pagi hari.
Dia pergi ke kandang dan mengambil kudanya, memasang pelana dan menaikinya, lalu bergegas pulang ke rumah.
Dia menemukan rumahnya kosong. Di kamarnya, dia memeriksa dirinya di cermin dan tidak bisa melihat adanya perbedaan. Butuh waktu satu jam lagi untuk memutuskan pergi dan bertanya pada Thozai apa yang terjadi.
Ketika Sarritha sampai di kastil, dia diberitahu bahwa Thozai sedang berada di arena tempat orang-orang mendaftar. Antrean panjang mengular, tetapi Sarritha tidak bergabung. Sebaliknya, dia berjalan melewatinya barisan dan langsung menuju meja tempat Thozai duduk. Gurunya mendongak dan melihat tetapi tidak mengatakan apa-apa. Yang lain di barisan mulai mengeluh, tetapi dia mengabaikan mereka.
"Saya perlu bicara dengan Anda, Guru."
"Bicaralah."
"Secara pribadi," katanya pelan tapi tegas.
Thozai berdiri dan memberi isyarat kepada seseorang untuk menggantikannya. Thozai mengikutinya  dan entah untuk apa, menmberikannya busur dan anak panah. Sarritha pikir itu hanya untuk penampilan.
"Bidik dan panah sasarannya."
Sarritha melakukan perintahnya dan kemudian berbalik menghadap Thozai.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" pria itu bertanya sambil menyerahkan anak panah lain padanya.
"Bagaimana saya bisa terbangun di tempat tidur Anda?" dia mengarahkan anak panah dan menembaknya, lalu berbalik ke arahnya lagi.
"Langsung ke intinya, ya?" Thozai mengerutkan kening sambil memberinya panah lain. "Aku yang membawamu ke sana."
"Dan di mana Guru tidur?" tanya Sarritha sambil melepaskan anak panah lagi.
"Di kursi."
Anak panah lagi.
"Apa yang guru lakukan pada ... ku?" Anak panah terbang menuju sasaran.
"Tidak ada." Anak panah lagi.
"Guru yakin?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya. Panah terbang lagi.
"Ya, aku yakin. Menurutmu, apa yang terjadi?" Thozai menyerahkan anak panah lagi.
"Tidak ada." Â Tembakan lain tepat sasaran.
Thozai sekali lagi menyerahkan anak panah padanya.
Aku mengharapkan kamu untuk tidur selama satu atau dua hari," katanya.
Sarritha menurunkan lengannya dan berbalik untuk menatapnya. "Apa artinya itu?"
Thozai menunjuk ke sasaran. Sarritha melepaskan tembakan lagi.
"Kamu bertemu dengan roh kamu, kan?"
"Ya, aku bertemu roh-rohku, kalau memang mereka semua adalah rohku." Hilang sudah "saya" berganti aku. Dia menerima anak panah lagi yang disodorkan Thozai. "Kamu ada di sana. Kamu melihat mereka." "Anda" berganti "kamu".
"Tidak, aku tidak berada di sana." Dia menyerahkan anak panah lain.
"Ya, kamu ada, kok," Sarritha bersikeras. Dia mengambil panah saat Thozai menatapnya dengan tatapan ganjil, lalu menembakkannya.
"Kalau aku ada di sana, maka aku adalah bagian dari imajinasimu. Aku tidak bisa masuk dalam pikiranmu." Dia menyerahkan panah lain padanya.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H