Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Zombie! Zombie! 3 - 5

17 April 2023   10:30 Diperbarui: 17 April 2023   10:34 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

Tetap  tenang dan terkendali, Surya mengarahkan moncong pistol ke kepala Keiko. Jelas, ini bukan pertama kalinya, dan aku yakin ini juga bukan jadi yang terakhir.

"Kamu tidak boleh membunuhnya," teriakku. "Dia..."

"Apaan, sih, Bay? Mengapa cewek ini penting banget bagi kamu?"

Aku tidak percaya dia bisa begitu kejam, begitu ... jahat. "Dia... kita tidak boleh membunuhnya karena keiko adalah kakak kita!"

Begitulah. Aku memainkan kartu truf. Lebih buruk dari itu. Aku telah mengingkari janjiku kepada Mama untuk tidak mengatakan sepatah kata pun tentang Keiko kepada abangku.

Surya menurunkan pistolnya. Tampangnya bengong. "Apa? Kakak kita? Bohongmu kelewatan. Atau jangan-jangan kepalamu kebenturnya parah waktu jatuh tadi!"

"Aku ngomong yang sebenarnya, sumpah."

Aku maju dengan hati-hati, tapi tidak beringsut lebih dekat. Aku tidak ingin Surya mundur dan menembaknya hanya karena dia merasa terancam atau bahkan lebih kesal. "Kamu tarik pelatuknya, artinya kamu membunuh saudara kita, kakak kandung kita sendiri."

Pistol bergetar di tangannya. "Aku ... aku tidak percaya padamu."

"Aku tahu sulit untuk dipercaya. Aku baru tahu tadi pagi. Mama dan Papa telah merahasiakan selama ini. Kamu tidak bisa---tidak sekarang setelah kita tahu siapa dia."

Surya membalas tatapanku. "Bagaimana kamu tahu dia memang betul kakak kandung kita? Kamupunya bukti?"

"Lihat dia. Siapa lagi yang kamu kenal dengan mata hijau dan rambut cokelat dengan warna yang persis seperti itu?"

"Ada banyak manusia berambut cokelat bermata hijau di dunia. Itu tidak berarti semua saudara kita."

"Kamu tahu apa yang aku maksud. Lihat dia! Keiko persis seperti kita!" aku berteriak. "Lihat baik-baik! Dia punya hidung Mama dan dagu Papa. Lihat baik-baik. Jauh di lubuk hatimu, kamu tahu kamu tidak bisa membantahnya. Buka matamu sekali saja, abaikan aturan dan protokol. Dunia ini bukan hanya hitam dan putih, Sur. Kamu tidak bisa membunuh kakamu begitu saja karena negitu menurut peraturan."

Surya menatap tajam ke arahnya, seolah mencari sesuatu yang tidak dilihat sebelumnya. "Kamu... kamu benar. Dia mirip sekali dengan kita. Kalaupun benar, mengapa Papa dan mama tidak memberi tahu kita? Mengapa mereka merahasiakannya?"

Aku menghela nafas panjang. "Mereka menyerahkannya ke panti asuhan ketika mereka masih remaja. Dia dua tahun lebih tua darimu."

"Dua tahun, ya? Berarti umurnya dua puluh empat tahun."

Surya menyelipkan pistol ke sabuk pinggangnya dan kemudian mengusap rambutnya, kebiasaan jika emosi sedang membanjiri dirinya. "Kamu seharusnya memberitahuku langsung begitu kita terbang dari rumah sakit."

"Seperti yang kubilang, aku baru tahu. Lagi pula, aku berjanji pada Mama untuk tidak mengatakan apa-apa padamu. Mama ingin memberitahumu dengan caranya sendiri... hari ini."

"Jadi, bagaimana kamu mengetahuinya?"

"Aku mendengar Keiko berbicara dengan Mama. Awalnya aku tidak percaya."

Aku mengeluarkan botol kecil dari tas hitamku. Isinya adalah serum hijau sage yang sangat berharga.

"Kamu mencuri itu untuknya?"

"Dia bukan sembarang orang. Dia kakak kita. Apakah kita akan menyuntiknya dengan ini untuk melihat apakah dia akan kembali menjadi manusia? Menurut dokter sepertinya akan berhasil."

"Serum itu bisa membunuhnya, seperti orang yang terakhir," bentaknya. "Aku tidak tahu harus berkata apa, apa yang harus dilakukan. Aku tahu kita tidak akan pernah sampai ke kota sebelum dia berubah menjadi monster sepenuhnya. Bisa kubayangkan foto keluarga dalam pigura tergantung di ruang tamu saat reuni keluarga tahun depan. Kita semua sudah menjadi zombie, kalau kita masih ada"

"Kita harus melakukan sesuatu. Seperti yang kamu, kita tidak bisa menyerahkan Keiko begitu saja pada takdirnya. "

Surya menyilangkan lengannya. "Yang di tanganmu itu serum terbaru penemuan Dokter, kan?"

"Iya."

"Jadi mengapa kamu tidak memanfaatkannya dengan baik?"

"Dokter Doc bilang tidak akan berhasil selama masa perubahan. Kami tidak bisa memberikannya sampai dia benar-benar menjadi zombie. Begitulah cara kerja serum ini. Masalahnya, Jenderal Wibowo berencana untuk segera mengeksekusinya, begitu tahu dia telah digigit. Dan kamu tahu betul tidak akan ada pengecualian."

"Jadi apa usul kamu? Kita menunggu, mengundangnya makan siang, lalu memberinya secangkir teh? Dia akan merobek kepala kita begitu dia berubah sepenuhnya. Aku sudah lihat bagaimana virus bekerja... dan memangsa korbannya. Hampir tak terbendung."

"Dia tidak sabar untuk bertemu denganmu," kataku. "Kamu adalah adik laki-lakinya."

"Ya, betul sekali. Maksudmu dia tidak sabar untuk memakanku."

Surya menggelengkan kepalanya. "Mainkan rasa bersalahku, mengapa tidak?"

Kemudian dia dengan cepat mengangkat keiko dan memeluknya erat-erat. "Tidak aman di sini."

"Kamu pikir aku tidak tahu itu?"

"Yah, tunggu apa lagi? Aku punya kakak tersayang, jadi ayo pergi."

Aku mengangguk dan menyampirkan kantong botol hitam ke bahuku. "Kamu akan menyayanginya begitu kamu kenal siapa dia."

"Mungkin, selama dia tidak lapar."

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun