Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Badai Takdir (Enam Belas)

15 April 2023   20:30 Diperbarui: 15 April 2023   20:28 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

"Seharusnya aku sudah mengira kalau kamu ada di sini," kata Thozai sambil menuntun kudanya ke kandang.

Sarritha tetap di tempatnya sampai pintu terbuka di belakangnya.

"Masuk," kata Thozai membiarkan pintu terbuka.

Sarritha masuk ke rumah dan bertanya-tanya bagaimana gurunya bisa menyalakan lentera begitu cepat. Dia menutup pintu di belakangnya dan melihat pria itu menyalakan api di perapian.

"Duduklah," katanya, lalu menghilang lagi.

Sarritha duduk dan memperhatikan api yang menyala. Dia tak sadar ketika Thozai kembali.

Gurunya meletakkan piring dan sendok di depannya.

"Kamu belum makan, kan?"

"Belum," jawabnya melirik ke piring. "Apa ini?" dia bertanya. Sarritha belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya.

"Makanan sederhana dari tempat asalku." dia mengambil sesendok mi dan memperhatikan Sarritha. Gadis itu mengambil setengah sendok dan dia mencicipinya. Sepertinya menyukainya.

Akhirnya setelah makan setengah piring, Sarritha menoleh ke arah Thozai, "Mengapa saya harus mengikuti kompetisi ini?"

"Dia pikir kamu sudah siap," jawaban singkat dari gurunya. Dia berdiri di dekat perapian dengan piring hampir kosong.

"Mengapa Ratu berpikir begitu?" Sarritha bertanya sambil menatap piringnya.

"Karena kamu belum berhenti."

"Jadi ini cara Baginda Ratu untuk menyingkirkan saya."

Thozai tertawa untuk pertama kalinya. "Fdia tidak ingin menyingkirkanmu. Dia hanya berpikir bahwa kamu sudah siap dan kamu akan bertahan dalam kompetisi ini."

Thozai berhenti, tetapi Sarritha tidak mengatakan apa-apa lagi.

"Dia tidak mengharapkan kamu untuk menang."

"semua orang tampaknya berpikir bahwa dia ingin saya mati dan saya cenderung setuju dengan mereka." Dia menatap Thozai. "Apakah Anda berselingkuh dengannya?"

"Jawaban apa yang kamu harapkan?"

"Ya. Tidak ada lagi yang bisa menjelaskan ketertarikannya pada Anda."

"Tidak, aku tidak berselingkuh dengannya."

"Apakah guru pernah menciumnya?"

"Tidak." Thozai melihat kelegaan di wajah Sarritha sebelum dia berkata, "tapi dia pernah menciumku."

Thozai pergi meletakkan piringnya, mengabaikan ekspresi bertanya di wajah Sarritha. Tapi dia melambaikan tangannya menyuruh gadis itu menunggu sebelum lanjut berkata, "Dia pikir aku orang lain. Itu salah paham."

"Dia tidak pernah mencium Anda lagi?" Sarrita bertanya.

"Tidak." Thozai menatapnya, "Kamu mau minum?"

"Ya, air."

Thozai membawa piring ke dapur dan kembali dengan dua cangkir, menyerahkan satu untuk Sarritha. Gadis itu menerimanya sambil menatap Thozai. "Mengapa Anda begitu baik padaku?"

Thozai berpikir sejenak, seolah bertanya-tanya apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. "Kamu ada di rumahku. Apa yang membawamu ke sini?"

"Saya sudah meminta cuti agar saya bisa berlatih minggu ini dan siap untuk kompetisi minggu depan. Apakah Anda memiliki sesuatu yang bisa saya gunakan dalam kompetisi?"

:Kamu tahu aturannya?"

"Tidak, saya ada di sini sewaktu pengumuman."

"Aturan pertama, tidak boleh ada kecurangan."

Sarritha mengerutkan kening. "Aku tidak bisa memberitahumu apa pun yang akan membuatmu diuntungkan melawan yang lain."

"Tapi ini aturan Anda. Tidak bisakah guru membengkokkannya sedikit?" tanya Sarrita.

Thozai menggelengkan kepalanya. Sarritha mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai.

"Kamu tidak tahu cara bersantai, ya?"

"Tidak saat saya gugup."

"Duduk di lantai dan lipat kakimu."

Thozai duduk di seberangnya.

"Kamu harus santai. Kamu sudqah tahu semua yang perlu kamu ketahui, tapi begitu kamu mulai khawatir maka kamu akan lupa semuanya. Yang harus kamu lakukan hanyalah menjaga agar tidak terluka parah dan mencoba yang terbaik untuk tetap bertahan dalam kompetisi. Tutup matamu sekarang."

Sarritha memejamkan mata

"Berhenti berpikir. Dengarkan suaraku, tetapi jangan memikirkannya. Jangan menjawab pertanyaan apa pun dalam pikiranmu, jangan berpikir untuk mengungkapkan apa yang kamu rasakan dengan kata-kata. Yang aku ingin kamu lakukan adalah ikuti kata-kataku. Kalau aku merendah, kamu turun. Kalau suaraku naik, kamu bangun. Kosongkan pikiranmu."

Kemudian Thozai terdiam cukup lama. Sarritha mulai khawatir kalau dia tidak akan mengatakan apa-apa.

"Berhentilah berpikir, Sarritha, kamu menggangguku."

Sarritha malah berpikir. Katakan sesuatu...

"Jangan," kata Thozai dengan nada jengkel.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun