Kilatan putih---cahaya cemerlang berubah menjadi ungu. Dingin menendang dada Malin dan rasa sakit mengencangkan kulitnya. Dunia debu menghilang.
Berikutnya yang dia tahu, dia menatap tiga Hungyatmai, tinggi dan kurus dengan tato warna ungu pada daging mereka. Gelombang gelap membingkai wajah ramping mereka yang didominasi oleh mata kelinci sipit hijau. Ditutupi jelaga dengan topeng pelindung muka yang tergantung di leher mereka. Mereka terlah berbaring di danau yang berdekatan, menunggu Malin dan teman-temannya.
Kerambil.
Malin mengenali tato tumbuhan yang merambat di bawah salah satu garis rahang.
"Hai, Esme." Esmerandah memiliki buah dada. Â Jenis kelamin berubah-ubah, lebih menyukai jadi wanita. Mungkin juga itu demi Malin. Malin bagai menelan empedu yang naik di tenggorokannya.
Hungyatmai bisa berganti jenis kelamin lebih cepat daripada kebanyakan orang meludahkan riak.
Dia melirik ke samping. Musashito, Rina'y, dan Lalika diikat dengan tali, lengan mereka terikat di belakang. Tali berkait mengunci kaki mereka erat-erat ke kereta. "Jangan menggeliat," Esmerandah memperingatkan. "Lututmu akan patah, atau ototmu robek, atau apa pun yang mungkin terjadi karena salah gerak."
Delapan Hungyatmai berseliweran, mengacungkan penggertak mereka. Senjata kejut itu mampu melumpuhkan sebagian besar keturunan puak Timur, membunuh beberapa, dan tidak berpengaruh pada yang lain. Strompis cukup menyakitkan meskipun sifatnya lebih ramah daripada pisser. Malin akan merawat kepalanya yang sakit selama dua hari.
Esmerandah duduk di dadanya, menahannya. Alat pelacak merah mengkilap di tangannya.
"Kamu pikir apa yang kamu lakukan? Membantu perempuan  jalang itu memburu harta karun Langkaseh? Apa pun yang berharga adalah hak Hungyatmai. Itu termasuk kamu, pelayan kedai." Cibiran perempuan jejadian itu menyebarkan nyeri, sama menghantui Malin seperti dinding makhluk bayangan.
"Tidak punya banyak pilihan. Wanita jalang itu adalah Penghirup Air bersama rombongan ... Â sesuatu yang jauh lebih gelap."
Esmerandah memantulkan pantatnya di dadanya, membuat Malin bernapas terengah-engah. "Makhluk duyung sudah punah, brengsek."
"Aku juga dengar tentang pupusnya mereka." Mengharapkan belas kasihan, rambutnya yang tergerai berkibar-kibar ditiup angin dingin. "Lalu aku melihat dia. Merangkak di lubang debu. Akan kutunjukkan padamu."
"Lubang debu bukanlah tempat untuk perempuan atau orang yang berpikiran kotor. Menurutmu kamu termasuk yang mana?"
Malin tahu, tapi dia tidak akan menjawab untuk memberinya kepuasan. "Tolong beri tahu aku apa yang sedang diburu semua orang di sini?"
Esmerandah mencondongkan tubuhnya. Mencium aroma wangi rubah yang manis dan pedas, rangsangan gairah menembus ke dalam otak Malin, membuatnya sedikit bernafsu. "Sisa senjata dari perang dengan Dunia Barat," katanya. "Yang di pantai itu adalah kapal Dunia Barat yang sebenarnya dengan Muka Pucat di atasnya yang merapat di pelabuhan Langkaseh. Hungyatmai bermaksud untuk mendapatkan apa pun yang mereka inginkan. Langkaseh adalah wilayah Timur. Kalau Otoritas Persemakmuran Suku-Suku Dunia Timur tidak dapat menegakkan perjanjian itu, kami yang akan melakukannya."
Tidak mengherankan jika Hungyatmai berjuang untuk mempertahankan kekayaan Dunia Timur.
"Sejauh itu aku sudah tahu." Malin menariknya lebih dekat, meraba-raba punggungnya. Dia menikmati ketika Esmerandah menjadi lincah dan berharap itu akan memberinya beberapa informasi. "Keberatan untuk mengatakan lebih banyak?" Malin membasahi bibirnya mengundang ajakan.
Esmerandah mengulurkan tangan dan menarik tengkorak Daiaq dari karung Musashito. Menyapu bibirnya ke bibir Malin, dia kemudian menampar jidatnya, menambah sakit kepala Main menjadi berlipat-lipat.
"Kalau kamu Cuma ingin menggodaku lagi, aku akan membuatmu membayar mahal. Apa hubungan Daiaq dengan ini? Mengapa Muka Pucat memberimu kepala tanpa badan?" Sambil duduk, dia mengguncang tengkorak di wajah Malin. Tulangnya menggores tempat bibirnya baru saja berada.
Malin menepisnya, menggosok pelipisnya yang berdenyut-denyut. "Tidak ada hubungannya dengan Muka PucatMenemukannya di danau."
Esmerandah meletakkan tengkorak tersebut di atas debu, memindahkan pantatnya dari dada Malin ke sana. "Aaawapa menurutmu ini Nanjan yang malang? Sudah berapa lama dia menghilang sampai sekarang?"
Rasanya Malin ingin mencekik betina jejadian itu. "Lebih dari setahun. Jangan menjadi bajingan dengan bersikap tidak sopan."
"Dia akan menghargainya. Nanjan selalu menunjukkan foto pantat sepupunya. Lagi pula, menurutmu, bajingan adalah sisi terbaikku."
Esmerandah membekap mulutnya sendiri dengan satu tangan. "Ups, kamu mungkin tidak ingin temanmu tahu itu."
Tinjunya mengepal, gatal untuk bertemu dengan wajahnya. "Itu sisi yang lebih baik daripada yang kamu tunjukkan sekarang. Jalang tidak menjadi kamu orang Timur sama sekali, Esme."
Esme menggoyang-goyangkan jari di wajah Malin. "Jaga kata-katamu, bibir manis. Kamu akan mengeluarkan sisiku yang kurang ramah."
Dia mengembalikan tengkorak itu ke karung Musashito, mengikatnya ke punggungnya.
"Sekarang bangun. Aku membebaskanmu dari Muka Pucat kumbang kotoran, jadi kalian berutang banyak terima kasih kepadaku. Kamu akan membantuku mendapatkan senjata mereka. Harus dijauhkan dari tangan Dunia Barat. Bukan hanya demi Hungyatmai, tapi untuk semua kaum Dunia Timur."
"Kekayaan Hungyatmai di seluruh penjuru Dunia Timur, maksudmu."
"Tidak kali ini." Esmerandah mengibaskan debu dari bahunya yang jatuh dari karung Musashito, mengerutkan kening ke laut yang mengelilinginya.
Apa yang terjadi pada bumi dan seisinya? Hungyatmai menjadi pembela tanah air, Musashito bekerjasama dengan musuh bebuyutan.
Gila.
Malin mendengus. Dia berhasil berguling dengan tangan dan lututnya. Upaya itu membawa semburan rasa sakit yang baru. Menghirup napas dalam-dalam, dia mengambil waktu sejenak untuk mengistirahatkan tubuhnya, tapi bukan mulutnya. "Apa yang terjadi pada Hungyatmai? Demi kebaikan Dunia Timur? Aku belum pernah mendengar hal seperti itu darimu sebelumnya."
Esmerandah menjulurkan lidahnya, menendang pantatnya. "Diam dan bergegaslah."
Malin menurut, pindah ke kereta dua kursi Hungyatmai yang minimalis. Skuter cakram bulat telur tipis dengan palang kemudi, lapisan hijau mengelupas, lambang kotak bujur sangkar tergores di mana pun pewarna berada.
"Ada sesuatu di dalamnya untuk Hungyatmai." Malin menginjak satu kaki ke penyangga di lantai kendaraan, mendapatkan keseimbangannya sebelum menempatkan kaki kedua di rantai.
Harus. Selalu begitu. Sebuah rencana untuk mendapatkan lebih banyak wilayah dengan tampil baik hati? Pasti begitu.
Esmetrandah mendorongnya ke samping dan tertawa, mengawasinya menggelepar. Sambil duduk di bangku pengemudi, dia meletakkan kakinya di palka dan menyalakan mesin.
Malin mencengkeram pinggang Esmerandah. Skuter terangkat dari tanah, menguarkan semburan debu.
Lebih ramping dan lebih dapat bermanuver daripada kereta segala medan, transportasi darat Hungyatmai mengatasi liku-liku pantai yang berkelok-kelok di antara danau abu. Mereka meliak-liuk dengan ketangkasan untuk membuat kereta-segala-medan Musashito cemburu.
Hungyatmai di depan Esmerandah memindai lubang abu, menandainya dengan kain dan teriakan. Rina'y menjerit di boncengan belakangnya, bersandar di punggungnya menjaga keseimbangan.
Di antara danau debu dan abu, mereka terus menuju ke utara. Danau-danau semakin besar dan liar, lubang jebakan semakin besar, udara semakin tipis dan lebih kasar dengan kristal es yang berkilauan di awan debu yang berasap.
Alira dan makhluk bayang-bayang tertinggal jauh di belakang. Mungkin merupakan hal baik secara garis besar. Namun tetap saja apa yang sedang berlangsung tampaknya tidak lebih baik bagi Malin.
BERSAMBUNG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI