Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Kisah Para Ksatria Mawar: 17 Dewi Kirana

13 April 2023   12:30 Diperbarui: 13 April 2023   12:36 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia tahu mereka mendengarkan.

"Ini adalah kebenaranku," lanjutnya. "Matahari dan Bulan berdiri dalam kegelapan yang menyelimuti dunia. Mereka muncul dari Lautan Ilalang melintasi pegunungan, dan masing-masing turun ke Samudra Adinda untuk menghapus dosa mereka. Mereka adalah cermin satu sama lain, bersaudara dalam terang dan gelap. Cinta harus mengikat mereka, bukan darah dan luka."

Hutan dedalu di belakangnya bergoyang karena angin yang tersesat, sementara para pengawas yang tersembunyi mengendurkan genggaman pada gagang pedang dan membuka ujung anak panah rahasia, dengungan kecil dan bunyi klik terdengar di puncak bukitnya.

Dewi Kirana melepaskan jaring dan sabuknya, menjatuhkan perisainya ke puncak bukit berumput. Dia mengendurkan lingkar pelana dan menanggalkan perlengkapannya dari kudanya.

Sambil berdiri dengan tunik linennya, dia mengelus leher kudanya, membisikkan kata-kata sandi perlahan sampai kuda itu berkicau, menyenggol dadanya, dan berjalan pergi melewati bukit berumput. Kemudian Dewi Kirana mengambil pedang pendek yang dia pegang melintang dengan tangan kirinya, mengiris bawah tuniknya hingga dia berdiri dengan pakaian langit di depan matahari terbenam, dan menjulurkan tangan ke bahu untuk membuat luka yang telah dilatihnya selama bertahun-tahun.

Cahaya tembaga terakhir dari matahari terbenam bagai kembaran bulan yang terbit di timur. Dewi bangkit, seekor burung bersayap berdarah dengan tangan gemetar dan kaki kapalan, berputar di atas pantai yang tersapu ombak saat bayangan dan orang-orang bermata tajam menyelinap keluar dari pohon dedalu dengan mulut melongo seperti anak-anak yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Seekor kuda berlari kencang di sepanjang garis air karena kegembiraannya. Semburan ombak naik tinggi. Matahari melotot, bulan merajuk, tetapi mereka dipersatukan pada saat itu oleh Dewi dengan punggung patah yang terhuyung-huyung di atas lautan menuju bintang-bintang untuk mengejar dewi yang tenggelam.

Dewi Kirana tak pernah menyentuh tanah lagi, tapi cinta yang dia tumpahkan di belakangnya bagai darah menebar semburan bunga setaman.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun