Fifi-Bibah Cendrawasih adalah dewi yang sedang naik daun di tanah kelahiran Dewi Kirana.
Raja Muda memejamkan mata sejenak, mengambil nasihat dari batinnya, mungkin mendengar hati nuraninya, mungkin juga karena strateginya. Ketika dia membukanya lagi, senyumnya bebas bermain di bibirnya.
"Baiklah, kalau begitu," katanya. Dia mengangguk dengan pedangnya. Tombaknya tersampir di satu sisi pelana perjalanannya. "Aku tidak meragukan kekuatanmu, tentu saja, tapi sebaiknya bersiap siaga, karena pertempuran yang sedang terjadi."
"Terima kasih, pengikut Matahari," Â Dewi Kirana mengangguk. "Berjalanlah dalam cahaya terang yang kamu layani."
Tanpa menunggu, dia menarik tali kekang kudanya dan terus melaju mengikuti gumaman para pria bermata tajam.
Dia mengikuti sungai ke laut selatan, melintasi pos pemeriksaan dan garis pertempuran, pesta dan hutan angker sekalian. Panjinya yang tidak dikenal, sikapnya terbuka tanpa menantang atau menunjukkan kelemahan, sehingga dia dibiarkan lewat.
Dewi Kirana tidak pernah menghunus pedangnya, meskipun dia berbicara beberapa kali dengan orang lain.
Pada akhirnya, dia menemukan laut.
Samudra Adinda terbentang di hadapannya, biru kehijauan seperti mata kekasih dan seluas jantung yang berdetak di tengah dunia, membentang ke cakrawala dan lebih jauh lagi, melingkupi pulau kelahiran dewi. Dewi Kirana berhenti di puncak bukit, menatap laut, mendengarkan musiknya, yaitu irama ombak yang menenangkan menerjang pantai.
Di sinilah tempat Fifi-Bibah Cendrakasih, Ksatria Krem, meletakkan senjatanya dan berjalan ke rahim samudra, menghilang dari pandangan dunia.
"Aku datang dengan membawa kebenaran," Dewi Kirana mengumumkan pada gelombang pasang. Ada penjaga tersembunyi di belakangnya. Baik Matahari maupun Bulan tak akan membiarkan Ksatria Mawar lepas berkeliaran melintasi garis pertempuran tanpa diikuti oleh pria bermata tajam atau rekan mereka dari Batalyon Bayangan yang berkaki lembut.