Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Skandal Sang Naga (Bab 16)

13 April 2023   08:08 Diperbarui: 13 April 2023   08:28 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya....

Memencet bel apartemen di Mediterania Lagoon mengingatkanku bahwa sudah lebih dari dua belas jam sejak aku berdiri di sana dengan penuh harap. Tanpa sadar, pandanganku tertuju ke bagian bawah pintu. Aku seperti berharap melihat kunci didorong perlahan di bawahnya, dan menjadi terkejut ketika pintu tiba-tiba terbuka lebar.

"Ah, Tuan Handaka!" Mau tak mau aku menangkap nada lega dalam suaranya.

"Aku harap aku tidak datang di saat yang tidak tepat," kataku, tak luput memperhatikan mantel bulu yang menutupi bahunya. "Aku sudah mencoba meneleponmu---"

Dia memberi isyarat setengah minta maaf. "Oh, maafkan saya. Kabel telepon saya matikan sepanjang pagi. Para reporter itu membuat saya gila!" Ranya menggigit bibirnya. "Lalu detektif dan pertanyaannya yang tak ada habisnya---"

"Aku baru saja mendapat kunjungan dari Detektif Toto Herbipirous," potongku.

"Saya sudah menduganya," katanya dengan nada menyesal. "Seharusnya saya memberi tahu Anda ketika Anda menelepon. Tapi... sampai lupa. Silakan masuk."

Aku mengikutinya ke ruang tamu yang sekarang sudah rapi. "Teman-temanku memanggilku 'Han'," kataku sambil tersenyum. Dia membalas senyumku. "Baiklah, saya akan memanggil Anda 'Han'."

Dia menunjuk kursi sofa berwarna krem. "Silakan duduk, Han".

Sambil melepaskan mantel bulunya, dia membiarkannya jatuh ke sofa. Dia mengenakan setelan merah darah, dihiasi oleh satu bros dua hati bertatahkan berlian.

"Maafkan saya jika saya agak kurang sopan," katanya sambil duduk di kursi sofa tunggal di seberangku dan menyilangkan kakinya dengan sembrono. "Saya masih agak shock dengan kejadian semalam. Meski sering membaca berita-berita tentang kriminalitas di koran, tapi siapa yang menyangka hal-hal seperti itu bisa terjadi pada saya."

Aku mengangguk simpati. "Aku juga kaget waktu detektif itu datang ke tempatku."

Aku mengeluarkan kotak rokokku dan membukanya perlahan.

"Yang tidak dapat kumengerti mengapa Archer bisa ada di sini. Aku pikir dia sudah kembali ke Amerika beberapa hari yang lalu, langsung dari Cina," kataku sambil memperhatikan raut wajahnya.

Dahinya berkerut. "Itu juga di luar perkiraan saya. Saya mendapat kesan dia terbang kembali dari Shanghai sehari setelah kita bertemu dengannya di Naga Cina." Ranya mengangkat bahunya. "Saya tidak melihatnya lagi setelah itu."

Aku menyodorkan kotak rokok. "Dia tidak menyebutkan bahwa dia mungkin akan mencarimu jika dia datang ke sini?"

"Sama sekali tidak." Dia mengambil rokok sebatang dan aku menyalakan pemantik api. "Detektif itu terus berusaha membuat saya mengakui bahwa kita telah mengatur untuk bertemu dengan Tuan Archer di apartemen ini."

"Dia melakukan hal yang sama padaku. Aku pikir dia agak kecewa ketika aku mengatakan bahwa kamu hampir tidak mengenal si Amerika itu."

Ranya tersenyum penuh terima kasih. "Saya sangat menyesal telah melibatkan Anda dalam semua ini. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Saya harus mengatakan kepadanya bahwa saya menunggu kedatangan Anda pukul tujuh tiga puluh."

"Tidak apa-apa." Aku menyalakan korek apiku, tapi agak ragu-ragu untuk menyalakan rokokku. "Kalau kamu punya acara di luar, jangan biarkan aku mengacaukan rencanamu,"

Matanya tersenyum. "Tadinya begitu, tapi tidak terlalu mendesak. Saya mengharapkan tunangan saya menelepon. Biasanya dia selalu menelepon saya sebelum ke kantornya. Baru pagi ini dia melewatkan yang satu ini, pada saat saya membutuhkan bahunya untuk bersandar." Jari-jarinya mengetuk lengan kursi. "Jadi rencananya saya akan ke tempatnya. Seharusnya tidak terlalu marah padanya. Dia pasti merasa kurang sehat setelah serangan asma kemarin malam."

'Tentu saja, itu sebabnya kamu tak ada ketika aku menelepon pertama kali, pukul tujuh lima belas."

"Ya." Dia menatap ujung sepatunya. "Anda menelepon dari ... Palmerah, bukan?"

"Betul."

"Dari kantor majalah Anda. Media teknologi, bukan?" Suaranya ragu-ragu. "Anda bilang Anda seorang jurnalis, bukan?"

Jika Toto Herbipirous mulai menggali masa laluku, dia akan segera menemukan fakta yang sebenarnya.

"Aku kadang-kadang menulis untuk majalah teknologi," kataku jujur. "Sebenarnya aku seorang insinyur, pernah punya perusahaan sendiri. Sayangnya beberapa bulan yang lalu bangkrut."

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun