Pukul setengah delapan ketika terbangun keesokan paginya, aku suara cangkir dan sendok beradu dari dapur. Bu Sulis, pembantu harian yang bekerja untukku, sedang menyeduh teh hijau. Aromanya tercium saat aku meraih sebatang rokok dari kotak di meja samping tempat tidur.
Aku harus memikirkan banyak hal yang harus dilakukan dan kebiasanku adalah melakukan sebagian besar pemikiran konstruktif di tempat tidur.
Sudah pasti pembunuhan di sebuah apartemen mewah harus menjadi tajuk utama koran pagi dan aku memutuskan untuk melihat apakah ada perkembangan baru. Saat hendak memanggil Bu Sulis untuk membawakan koran dan teh untukku ke tempat tidur, bel pintu depan berbunyi.
Bu Sulis bergegas ke ruang depan, terengah-engah seperti biasanya. Kemudian dia kembali, mengetuk pintuku.
Ada tamu yang mencari Bapak."
Biasanya dia menyebutku "Mas Handaka," kecuali dia ingin membuat tamuku terkesan. Belakangan, ini adalah kreditur yang terkait dengan bisnisku yang sudah bangkrut. Hanya namaku di lembar cek yang membuat mereka terkesan.
Sambil menggerutu, kakiku meraba-raba mencari sandal kamar. Menyeret kimono handuk dan hanya berhenti sejenak di depan cermin untuk menyisir rambut dan menyelipkan kotak rokok ke dalam saku.
Bu Sulis sedang berdiri di luar pintu kamar, ekspresi cemas tergambar di wajahnya yang biasanya ceria.
"Polisi berpakaian preman," desisnya. "Dari baunya yang sengak sudah ketahuan."
Ini dia. Sambil memasukkan tanganku ke dalam saku kimono, aku berjalan santai ke ruang tamu. Seorang pria jangkung, dengan rambut yang disisir rapi, uban di kedua sisinya, mengenakan setelan gelap dan dasi abu-abu, mengawasi dengan pandangan bingung, jelas waspada terhadap apa pun yang mungkin dianggap mencurigakan.
"Tuan Handaka Jaya?" dia menyapa dengan ramah. "Nama saya Bripka Toto Herbipirous, Detektif."
Aku mengerutkan kening bingung. "Ada masalah apa, Detektif? Apak tetangga sebelah melaporkan tentang mobil saya yang parkir di depan pintu pagar rumahnya?'
"Tidak ada yang kejam begitu, Pak," jawabnya. Polisi memang rasa humornya rendah. "Ini tentang seorang wanita yang saya yakin Anda kenal, Tuan Handaka. Nona Ranya Vachel."
"Ya, dia teman saya," kataku tampak kaget. "Tidak ada yang sesuatu yang buruk terjadi padanya, kan?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Saya hanya ingin menanyakan beberapa pertanyaan tentang dia." Mata kelabu gelapnya menjelajahi ruangan, dan tba-tiba saja kembali fokus menatapku.
"Anda punya janji dengannya kemarin malam?" Kalimat yang lebih merupakan pernyataan daripada pertanyaan.
"Benar," jawabku dengan kening berkerut. "Jam setengah delapan, di apartemennya. Sayangnya saya tidak bisa datang. Ada rapat dengan redaksi di Palmerah."
"Begitu." Nada suaranya seperti tak yakin. "Jadi, Anda tidak berada di gedung Mediterania Lagoon kemarin malam?"
"Saya sudah mengatakannya kepada Anda, Detektif," jawabku kesal.
"Anda bilang Anda tidak ada di sana sekitar jam tujuh tiga puluh," dia mengoreksi kalimatnya.
"Mari kita perjelas, Detektif. Sejauh yang saya tahu, saya belum pernah berada dalam jarak satu kilometer dari pencakar langit, giya tawang, apartemen mewah---apapun sebutannya---yang bernama Mediterania Lagoon."
Senyumnya yang miring memprovokasiku untuk bertanya, "Mengapa Anda bertanya sampai begitu detailnya, Detektif? Seakan-akan saya seorang tersangka saja."
Aku lihat wajahnya berubah karena tak suka disudutkan seperti itu. Untuk sesaat, dia menjadi pihak yang bersalah.
"Saya minta maaf jika Anda menganggapnya seperti itu, Pak." Dia mengelus rambutnya. "Ini murni pertanyaan rutin."
Kemudian nada suaranya kembali menajam. "Seorang pria dibunuh tadi malam, di apartemen Nona Ranya."
Aku berusaha menampilkan mimik terbaikku untuk terlihat kaget, lalu bertanya, "Apakah kalian sudah menemukan pembunuhnya?"
"Belum." Dia berhenti. "Saya rasa Anda mengenal pria yang terbunuh itu."
"Oh ya?"
"Namanya Archer."
Archer ... Archer," gumamku sambil mengerutkan kening. Lalu aku menjentikkan jari. "Tentu saja! Dia adalah pria yang saya temui dengan Nona Ranya di Shanghai. Meskipun saya hampir tidak bisa mengatakan bahwa saya mengenalnya. Kami hanya bertemu sekali."
"Nona Ranya memberi tahu saya tentang kejadian itu," Dia tersenyum miring seolah-olah hampir berhasil menjebakku. "Menurut Anda, apakah Nona Ranya bersahabat dekat dengannya?"
Aku mengangkat bahu. Kelihatannya tidak lebih dari persahabatan biasa dari orang-orang yang bertemu satu sama lain di luar negeri pada saat liburan."
Dia kembali mengusap sisi rambutnya yang beruban. "Dan kalian semua merencanakan untuk bertemu lagi tadi malam untuk membicarakan liburan kalian di Shanghai di apartemen Nona Ranya?"
Aku mengeluarkan kotak rokokku untuk mengulur waktu sambil mencoba menghindari jebakan dalam pertanyaan itu. "Dia tidak memberitahu saya bahwa Archer akan datang", kataku. "Malah saya pikir dia sudah kembali ke Amerika. Saya diundang untuk bertemu tunangannya."
Nona Ranya mengatakan hal yang sama."
Dia mengambil sebatang rokok dari kotak yang kusodorkan kepadanya. "Nona Ranya wanita yang sangat menarik, bukan begitu, Tuan Handaka?"
Aku tersenyum, mengingat teori 'cemburu' yang disebut Prima. Aku hampir tak pernah menolak undangan makan atau minum," kataku.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H