Sejauh yang aku tahu, 'tidak ada' untuk saat ini." Dia bangkit, dan mengambil gelasku dan pergi ke lemari minuman. "Polisi ada di apartemen Nona Ranya sekarang ini, menginterogasi dia. Jika dia tidak bersalah seperti yang kau bilang, dia akan memberi tahu mereka bahwa dia sedang menunggumu malam ini."
"Aku yakin dan berani bertaruh kamu benar," kataku tajam. "Dan tak perlu menyindir begitu."
"Memangnya aku nyindir?" tanyanya tanpa dosa. "Intinya adalah kau harus mulai berpikir tentang cerita yang cukup masuk akal kalau nanti ditanya polisi."
"Aku akan mengatakan yang sebenarnya kepada mereka. Tidak ada yang harus aku sembunyikan."
"Oh, Begitu menurut kau?" Prima menuangkan Courvoisier ke gelasku, lalu membawa gelasnya sendiri berkeliling ruang perpustakaan. "Kau menemukan mayat Archer di sana. Mengapa kau tidak menunggu sampai polisi datang ke apartemen dan memberi tahu mereka tentang hal itu? Polisi tidak akan menyukainya sama sekali." Dia menenggak isi gelasnya. "Kita tahu mengapa kau datang ke sini, untuk melapor kepada bos. Tapi polisi tidak akan mengatakan, 'Terima kasih banyak, Tuan Handaka. Anda bebas' kalaupun kau bilang bahwa kau mendapat misi membuntuti Ranya Vachel. Mereka pasti akan sangat penasaran."
"Jadi menurutmu apa yang harus aku lakukan?" kataku sambil mengangkat bahu. "Yang harus aku lakukan hanya menyebutkan departemen ini---"
"Justru Itu yang tidak boleh kau lakukan," potongnya dengan cepat, menggoyangkan jari telunjuknya ke arahku. "Masukkan ini ke dalam kepalamu, Han. Yang Tuan Joko khawatirkan adalah mengapa salah satu agennya yang paling dipercaya tewas. Bahwa kau dan aku berpendapat bahwa itu adalah kecelakaan murni tidak penting baginya. Tugasmu mencari tahu apakah Nona Ranya terlibat dengan orang-orang yang ingin menghindari Banyu. Dan untuk melakukan itu, Ranya tidak boleh tahu bahwa kau menguntitnya. Kau beritahu polisi tentang itu, dan mereka akan akan membocorkannya kepada wartawan dan mukamu akan muncul di televisi. Dan percayalah, tampangmu belum pantas jadi headline news saat ini."
"Tak masuk akal, tapi aku akan menganggapnya sebagai pujian atas kerjaku sejauh ini," kataku menghibur diri sendiri. "Ngomong-ngomong, kamu masih berpikir itu kecelakaan?"
"Orang Amerika itu dibunuh di apartemennya tentu saja membuka kemungkinan lain," Dia terlihat berpikir keras, lalu berkata dengan nada tegas, "Telepon dia sekarang. Beri dia alasan mengapa kau tidak muncul." Dia menuju meja dan membolak-balik buku agenda di atasnya. "Di sini ada nomor...."
Aku mengeluarkan Samsung I9000 Galaxy S yang baru kubeli dari saku dan menghubungi nomor yang disebutkannya sambil memikirkan alasan yang masuk akal.
Menempelkan benda itu ke telinga, aku dan mendengar nada sambung. Beberapa detik kemudian terdengar bunyi klik saat gagang telepon diangkat di ujung yang lain.
Suara seorang pria terdengar renyah di telepon. "Halo ..."
Aku ragu-ragu, sedikit terkejut. "Oh ... maaf.... Bisa bicara dengan Ranya? Namaku Handaka."
Terdengar suara teredam pertanda telepon di ujung yang lain dibungkam dengan telapak tangan, dan aku berbisik, 'Polisi' kepada Prima. Dia hanya tersenyum.
Terdengar suara Ranya. "Apakah ini Anda, Tuan Handaka?"
"Sorry banget, Ran. Aku enggak bisa datang malam ini," kataku. Aku berharap nada permintaan maafku terdengar tulus. "Ada rapat dengan redaksi di kantor. Aku benar-benar lupa waktu aku menerima undanganmu. Aku berharap bisa kita ulang lagi lain waktu. Ini rapatbelum selesai juga."
"Oh, pantas. Dari tadi saya bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Anda."
"Saya sudah mencoba menelepon sebelum saya pergi tetapi tidak mendapatkan jawaban." Aku melirik Prima yang tampak geli. "Sekitar jam tujuh lewat seperempat tadi."
"Oh, jadi tadi Anda sudah menelepon? Saya tadi sedang keluar. Tunangan saya sudah lebih dulu menelepon. Asmanya kumat dan saya pikir saya harus melihatnya dan memastikan dia baik-baik saja." AKu bisa membayangkan bibirnya yang merah sedang tersenyum. "Kalaupun tadi Anda datang, Anda tidak akan bertemu dengan saya. Baiklah, lain waktu, mungkin."
Aku bilang aku juga berharap begitu, meminta maaf lagi, dan menutup telepon.
"Bagus," kata Prima, mengambil sebatang rokok dari kotak perak dan mendorongnya ke arahku. "Di mana dia pada pukul tujuh lewat seperempat?"
"Katanya tunangannya sakit dan dia pergi menjenguk."
"Biar polisi yang memastikan alibinya," kata Prima, memandang tajam ke arahku. "Kau harus waspada, Han. Polisi akan mencari motif pembunuhan Archer, sesuatu yang umum dan primitif, seperti cemburu, misalnya."
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H