Kereta komuter, antrean untuk makan di foodcourt - hanya beberapa hal yang kutinggalkan di kehidupan lamaku. Rasanya seperti mimpi sekarang, setelah setahun di pinggiran kota dan dua bulan mati. Aku melihat ke belakang dan berpikir, Apakah itu aku? Apakah aku menatap cakrawala dari sisi gedung pencakar langit itu, tawa itu, detak jantung itu begitu saja?
Sekarang, di ketidakhidupan ini, aku datang untuk mengambilnya kembali. Sekelompok orang yang tersesat dan terkutuk telah mengikutiku ke GBK, tempat aku pernah melakukan Senam Kesehatan Jantung. Setiap menit, lebih banyak pasukanku merangkak dari sungai Ciliwung ke dunia kehidupan yang diterangi matahari. Tapi kepulanganku menimbulkan pertanyaan: Mengapa dulu pergi?
Bagaimanapun, semua orang pada akhirnya meninggalkan kehidupan ini, tetapi tidak ada yang meninggalkan Jakarta. Kecuali jika Anda seorang yang "menyerah", "gagal", "ahli teori konspirasi", "penyebar penyakit", "muntah darah secara aktif", atau apa pun yang disebut untuk menghina temanku yang lain. Inilah hal yang lucu tentang pergi - kamu jadi tahu siapa yang tidak pernah menginginkanmu sama sekali.
Dan aku punya rencana di sini. Aku ingin membesarkan anak-anak yang berdaging bersama orang lain sejenis. Tetapi aku juga ingin mereka bernapas lega, sesuatu yang tidak diizinkan oleh para pemuja buku teks yang menjalankan kota ini. Mereka lebih suka berbohong, main bokong, dan saling lapor. Aku tidak bisa merasakan flu musiman yang biasa-biasa saja tanpa panti jompo tempat ibuku memperlakukanku seperti penderita kusta. Kotaku sudah mati.
Atau begitulah yang kupikirkan, sebelum aku memahami kematian yang sebenarnya.
Di Lampung, aku menikmati satu bulan kebebasan murni bermandikan sinar matahari. Aku hidup, tertawa, batuk, dan kentut dengan orang-orang yang mengerti bahwa hidup ini cepat berlalu - sangat, sangat, menyebalkan, cepat berlalu.
Beberapa orang mungkin bertanya, "Bagaimana tepatnya kamu meninggal?"
Itu urusanku. Kalian harus fokus pada kerangka kuda yang bergemuruh di jalanan. Penunggang mereka meniup nyala api. Itu urusanmu.
Aku datang untuk membebaskan tempat favoritku di dunia. Aku bisa saja duduk menganggur  seperti miliaran domba di depanku. Aku bisa saja mengabaikan seruan dari gerbang hitam, dan menyaksikan para tiran mengunci segala sesuatu yang berharga di nekropolitan ini. Banyak orang lain telah menantang penghalang antara hidup dan mati dan gagal. Tapi, seperti siapa pun yang pindah ke Pondok Indah hanya dengan sedikit modal pinjaman orang tua yang kebetulan jenderal polisi atau konsultan pajak, aku terbiasa dengan hidup dengan lompatan iman.
Aku juga mendengar desas-desus tentang booster terbaru. Jadi aku kembali dengan serombongan malapetaka mengikuti di belakangku.
Itu tidak mudah. Aku tidak bisa merasakan angin laut selama perjalanan dengan kapal feri, atau bunyi tulang manusia remuk di bawah cengkeramanku. Aku bisa meminum air mata yang hidup, tetapi tidak bisa merasakannya. Tapi ini bukan tentangku. Ini tentang menyelamatkanmu.
Aku sudah bisa mendengar nyinyiran dari kaum intelektual. Menggandakan virus. Lamur. Sihir terkutuk. Mengabaikan ilmu pengetahuan. Menodai kesucian.
Aku sudah capek membela hakku kepada orang lain. Siapa pun yang melawan kerangka yang berbaris di Jl. Merdeka dapat bergabung dengan mereka. Miokarditis mungkin membunuhmu sebelum mereka melakukannya.
Terkadang, ketika kamu mencintai sesuatu, kamu harus meninggalkannya. Setelah itu, jika tidak mendapatkan pesannya, kamu harus memutuskan rantai kematian dan memperbaikinya.Â
Tentu, Tuhan lebih tua dari waktu. Dia yang menciptakannya. Tapi Dia bukan orang Jakarta.
Bandung, 26 Maret 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI