Aku bilang padanya bahwa kalau stoples permen itu sampai kosong, maka hubungan kami selesai sudah. Aku hanya bercanda, tentu saja, caraku meringankan perpisahan kami yang pasti akan terjadi oleh tutup usia. Terlepas dari kenyataan bahwa aku cukup yakin kami akan menikah, punya anak, melakukan semua omong kosong perkawinan bahagia itu.
Dia mendapatkan stoples langka itu di pasar loak Jatayu. Salah satu kesempatan langka jika kita bisa menemukan dengan tepat apa yang kita cari dalam hiruk pikuk barang bekas yang rusak dan dibuang.
Beberapa kerabat jauhnya sering memberi oleh-oleh permen jadul buatan sendiri yang manisnya membuat penikmatnya menderita di sisa usia dan dokter gigi kaya raya.
Meskipun ada retakan rambut di satu sisi dan rekahan besar di tutup kaca buram yang tebal, dia menganggapnya sebagai wadah yang sempurna, menawar harganya, dan membawanya pulang. Stoples itu tegak dalam hidup kami. Ada dengan sendirinya sebagai mercusuar dari hubungan kami saat ombak badai menerjang.
Lelucon yang kubuat mewarnai suasana saat aku memasukkan tanganku menciduk bermacam-macam permen, mengangkat alis dengan ancaman mengejek.
Tamu-tamu kami dengan santai mengambil sepotong permen, tidak memperhatikan seringai di bibirku. Sekilas muncul kekhawatiran saat aku menyadari bahwa permen di dalam stoples tinggal sedikit saja.
Teman-teman pergi setelah acara makan malam, mencomot permen sesuka hati, mengisi kantong mereka untuk perjalanan pulang dalam keadaan kenyang. Malam itu aku membiarkan tutupnya tergeletak di samping dia, kalau-kalau dia tidak menyadari betapa isinya sudah sekarat. Di pagi hari, toples itu berkilau dengan bungkus plastik sebagai peringatan bahwa isinya tidak boleh disentuh.
Dan tentu saja, begitu kami memiliki anak, yang terjadi adalah pertempuran yang terus menerus untuk memastikan isi stoples tidak pernah habis. Selama bertahun-tahun benda itu menemukan rumah di rak tertinggi sehingga jari-jari kecil yang kotor tidak dapat lagi menjangkaunya. Sampai kita semua menjadi dewasa atau lanjut usia.
Stoples itu mengikuti kami melintasi dua bedeng sewa, satu apartemen, dua rumah, empat anak, dan sekebun binatang hewan peliharaan yang membuat kami semua menangis saat menguburkan mereka. Dia tidak pernah membiarkannya kosong, tidak selama bertahun-tahun.
Kemudian, suatu hari di penghujung musim hujan tahun lalu, aku memecahkan stoples itu. Aku tersandung, terlempar ke meja rias, tanganku menyapu permukaaan meja dan menabraknya. Membuatnya terbang ke udara.
Aku melihatnya menyentuh lantai, terbelah menjadi dua. Hiasan kaca di atas tutupnya patah, berguling, bebas lepas dari batas-batas keterikatan.
Awalnya, aku terang-terangan menangis. Mataku sudah basah duluan karena cedera di lutut. Aneh, bagaimana sesuatu yang tampaknya tidak bisa dihancurkan setelah berpuluh tahun digunakan dan dihargai tanpa batas tergeletak berantakan tak berdaya di lantai.
Aku menempelkan potongan-potongan itu kembali dengan tenang dengan lem setan. Aku sekarang faham, lebih  dari sebelumnya, lelucon itu hanya untuk mengingatkan diriku sendiri tentang apa yang sudah kuketahui. Bahwa cinta kami, cedera dan luka di banyak tempat, bertahan dengan kemauan keras dan lem gila, sudah ada jauh sebelum stoples itu ada.
Bandung, 26 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H