Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Badai Takdir (Tujuh)

23 Maret 2023   16:16 Diperbarui: 23 Maret 2023   16:15 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Sarritha berhasil meredakan keterkejutannya. Matanya melebar dan dia tersenyum, "Ya, saya ingin menjadi murid Anda."

"Sudah beres kalau begitu. Kendida tahu bahwa aku telah memutuskan untuk menjadi mentornya dan jika Sarritha memilih, seperti yang telah dia lakukan, maka dia adalah menjadi muridku."

"Aku akan berbicara dengannya dan mengatakan apa yang aku pikirkan." Nusvathi bergegas menuju ruang belajar.

Thozai menoleh ke Sarritha yang tersenyum meskipun matanya tertuju ke lantai. Gadis itu mendongak tepat ketika Thozai berkata, "Pelajaran nomor satu, bergerak cepat. Setiap penundaan dan kamu tewas. Pelajaran nomor dua, selalu awasi musuhmu. Gangguan apa pun bisa berakibat fatal. Hal lain, jangan tutup matamu bahkan ketika kamu menghadapi kematian." Dia berhenti. "Itu saja untuk hari ini. Ada pertanyaan?"

"Ya, di mana saya akan berlatih?"

"Di mana saja dan kapan saja."

"Apakah tidak sebaiknya saya pergi ke istana Ratu Kendida?"

"Tidak, kamu akan tetap bekerja di sini."

Thozai menangkap kekecewaan di wajah Sarritha.

"Kamu akan membutuhkan akses tak terbatas ke buku-buku ini jika ingin menjadi lebih baik dariku, dan selain itu kamu perlu membayar jika ingin mempertahankan hidupmu di kota ini."

"Oh! Satu hal lagi, apakah Ratu Kendida menyetujui ini?" Sarritha tidak ingin dikecewakan untuk kedua kalinya.

"Ya, tetapi aku sarankan padamu, menjauhlah darinya. Sekarang setelah kamu belajar bertarung, kamu mungkin menjadi lawanbaginya. Ada pertanyaan lain?"

"Tidak."

"Tidak apa?"

"Tidak, Guru."

Thozai berjalan ke pintu besar, tetapi sebelum menutup di belakangnya, dia melihat Sarritha melompat-lompat dengan gembira.

Dia pasti seperti ibunya, pikirnya. Tapi lebih muda...

Thozai menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran itu.

***

"Kalian pasti tidak akan percaya apa yang baru saja dilakukan Thozai! Aku bersumpah Kendida, kamu kehilangan kendali atas hewan peliharaanmu itu."

Nusvathi menyerbu ke dalam ruang belajar yang membuat Angrokh terkejut.

Angrokh menatapnya dengan cemas sementara Kendida bertanya dengan tenang, "Apa yang dia lakukan?"

"Dia menodongkan pedangnya ke leher seorang pemegang buku."

Angrokh berbalik menatap Kendida dengan tatapan menuduh. "Kamu yang merencanakan ini?"

"Aku sudah memutuskan."

"Aku tidak mengerti," Nusvathi menyela.

"Dia datang ke sini dan menjebakku untuk memihaknya ketika dia sudah membuat keputusan."

"Apakah itu keputusannya atau keputusan Thozai?" Nusvathi bertanya sinis. Angrokh menatap Kendida tapi dia tidak menjawab. "Thozai mengendalikannya."

"Apa maksudmu "mengendalikannya"?" Angrokh bertanya tetapi dia Kendida menatap Nusvathi.

Nusvathi menyadari bahwa dia telah menempatkan dirinya pada posisi yang dengan susah payah dia hindari. "Aku mempunyai kecurigaan, jadi aku memata-matai dia dan memperhatikan bahwa Thozai melakukan sesuatu padanya, yang selalu membuatnya bingung setiap kali Thozai pergi setelah menemuinya."

"Apakah ini benar, Kendida?"

"Ya, tapi Tholzai tidak melakukan apa pun untuk mengendalikanku."

"Bagaimana kamu tahu?" Nusvathi bertanya. Pada saat yang sama Angrokh bertanya, "Apa sebenarnya yang dia lakukan?"

"Itu bukan urusan kalian," jawab Kendida dan tiba-tiba berdiri. Kursi-kursi ini pasti tidak dirancang demi kenyamanan pemakainya, pikirnya.

Angrokh adalah orang yang berbicara selanjutnya karena dia lebih terbiasa dengan temperamen Kendida. "Kalau kamu tidak memberi tahu kami apa yang sedang terjadi, kami akan dipaksa pergi ke dewan ...." Dia membiarkan kata-katanya menggantung.

Keheningan mencengkam mereka, tetapi apakah Kendida akan menerima ancaman itu yang membuatnya tak tertahankan. Ancaman itu benar-benar nyata jika mendengar nada bicara Angrokh.

Kendida kembali duduk. "Dia sesuai untuk ambisiku."

"Apa ambisimu?" tanya Angrokh.

"Kekuasaan."

"Bagaimana tepatnya Thozai bisa membantumu? Kecuali...." suaranya terhenti lalu mulutnya menganga.

"Kecuali apa?" Nusvathi bertanya dengan tidak sabar. "Apakah dia merencanakan kudeta?"

Angrokh menoleh ke Nusvathi, "Kamu ingat sejarahmu?"

"Sejarah tentang apa? Thozai?"

"Apakah aku satu-satunya di sini yang benar-benar membaca?" pertanyaan Angrokh secara retoris, "Aku sedang berbicara tentang sejarah para penyihir."

"Yang aku ingat adalah apa yang kudengar sebagai dongeng pengantar tidur. Aku pikir itu hanyalah legenda."

"Tidak." Angrokh bersandar di kursinya, bersiap untuk memberi ceramah.

Kendida berusaha untuk tidak mendengarkan tetapi suara Angrokh selalu menarik perhatiannya.

"Apakah kalian ingat perang besar itu?"

"Yang termasyhur karena banyaknya korban yang dibantai?"

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun