Epilog
Dia berdiri di sana, sang ksatria, dalam baju zirah dengan pola kembang-kembang berwarna merah muda pucat pupus, sehingga banyak tentara lain yang akan memberontak demi memakainya.
Ksatria Pink tidak terlalu tinggi, tetapi cukup tinggi. Gurat kuning pada tunik yang mencolok cocok dengan pewarnaan sejumput rambutnya.
Seorang lelaki membawa senjata yang aneh, sebatang duri panjang seperti jarum kayu. Ujungnya berbutir darah yang begitu merah cerah sehingga nyaris ungu.
Para wisatawan berdatangan untuk melihatnya, kadang-kadang bahkan berdoa, karena darah itu selalu murni dan segar.
Sang prajurit tidak bergerak, dia hanya tersenyum sambil menatap keabadian yang hanya bisa dilihat olehnya sendiri. Bahkan di padang pasir, cakrawala sesungguhnya punya batas. Namun matanya tertuju pada bintang-bintang yang jauh dan arang yang mengendap, yang tidak terlihat oleh mereka di sekitarnya.
Di padang pasirnya hanya ada kedamaian. Burung Rajawali berburu di tempat lain. Dubuk berlalu di bawah penguasa malam mereka, Gundik Bulan. Bahkan duri kaktus sedikit melunak, sehingga kelinci dan anak-anak dapat berjalan berdampingan dengan sang prajurit.
Konflik
Di bagian tengah cerita, pertempuran yang terjadi berlarut-larut dan mengerikan, selalu seperti itu. Hanya sedikit meriam yang ditembakkan, dan sedikit saja kerusakan, tetapi itu tidak mengurangi orang-orang berlarian panik dari satu tempat perlindungan ke tempat perlindungan lain. Batuk yang mendera dari luka yang menyiksa, bernapas dengan susah payah di parit dangkal saat malam tiba dan debu menempel pada bibir dan lidah pecah-pecah karena begitu lama tanpa tetesan air sehingga menjadi kulit busuk.
Para pejuang telah memulai pertarungan mereka dengan memakai kamuflase bayangan dan pasir, berpura-pura dan bermain pedang di atas gumuk bukit rendah dan di sungai yang kering kerontang. Tetapi jelas bahwa perang ini hanya akan mengarah pada perampasan lahan dan kebanggaan semu yang tak ada habisnya, dibayar dengan tulang dari anak laki-laki yang sekarat dengan nama ibu mereka terjebak di dalam rongga mulut mereka.
Maka Ksatria Pink diajak, dimohon oleh kedua belah pihak untuk ikut terjun ke dalam perang atas nama mereka.
Tanpa mau tunduk bersumpah setia pada apa dan siapa juga, dia masuk ke medan perang, turun tanpa baju besi atau tombak, menghunus pedang kayunya, dan berjalan di antara para pejuang, mencari sesuatu yang tidak ingin ia jelaskan. Mereka mundur, para pemuda dalam seragam mereka yang halus, melepas amarahnya saat mereka menjatuhkan senjata mereka. Akhirnya, hanya prajurit yang mengenakan warna yang sama dengan perona pipi yang tersisa di antara pasir padang pasir.
Kemudian dia berhenti dan menyeru nama seorang wanita, sampai suaranya serak dan para pemimpin lawan menangis dan mencatat daftar kematian anggota mereka sambil ikut mencari kekasihnya.
Berdiri di sana, dia menusuk hatinya sendiri dengan pedang kayunya.
Prolog
Kamu menduga akan ada awal yang megah mulia? Semua hal akan dimulai dari kecelakaan atau ketidaksengajaan, dengan tujuan yang berbeda. Bahkan Ksatria Pink dan perang-perangnya akan dimulai dari sesuatu yang dimaksudkan untuk menjadi baik, terlepas dari rasa sakit yang akan dilaluinya dalam perjalanannya.
Namun kita tidak akan mengetahui awalnya, karena kita hanya akan menatap ke mana kita akan pergi. Kita tidak akan pernah melihat di mana kita dulu berada. Itu hanyalah menjumput abu dari ingatan, akan ditulis abu-abu terhadap langit musim gugur saat kertas dan hati yang hancur terbakar di tempat sampah sejarah.
Inilah mengapa setiap perang pernah terjadi: karena seseorang percaya pada sesuatu yang lebih dari yang seharusnya. Dan inilah mengapa setiap perang pernah dimenangkan: karena seseorang percaya pada sesuatu yang lebih dari yang seharusnya.
Maka dia akan tersenyum, prajurit itu, ksatria itu, pada akhirnya dengan duri darahnya. Jadi kita akan tersenyum juga, mengetahui bahwa dengan keberuntungan, cinta, dan ketetapan dalam perjuangan, segala sesuatunya akan baik.
Moral cerita
Suatu hari nanti dia akan menemukannya, wanita yang namanya dia seru. Itu akan menjadi pertempuran terakhirnya.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H