Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah Para Ksatria Mawar - 4. Rosarie de l'Hay

16 Maret 2023   06:54 Diperbarui: 17 Maret 2023   09:10 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

Di Kerajaan Gelegata Hulu yang berdinding jurang terjal, tempat para wanita mengasuh pedang dan para pria menjaga lidah, tinggallah seorang putri peri bernama Roseraie de l'Hay. Bagi lidah yang kaku akan menyebutnya Mawar Magenta.

Dia dilahirkan dengan takdir sebagai bangsawan kerajaan, berlapis baja dalam karapas kumbang dan sihir yang berkelap-kelip saat masih dalam buaian yang terbuat dari batang kayu dedalu, dan tumbuh perlahan menjadi wanita dengan kecantikan yang halus dan kekuatan yang dahsyat.

Wajahnya seperti apel, manis dan bulat, dengan garis-garis yang cukup membuat orang yakin dia punya kisah untuk diceritakan.

Tawanya bagai badai musim panas di puncak-puncak tinggi tempat para raksasa melontarkan petir untuk olahraga dan mambang-mambang melolong ke surga di puncak gunung. Dia tangkas dan gesit, luwes seperti berang-berang musim semi, anggun seperti daun musim gugur yang menarikan dansa terakhirnya dari cabang ke bumi.

Dia masih memiliki kekuatannya, baju zirah Ksatria Magenta yang dipernis---yang merupakan nama perangnya---dan pedang peri setipis jarum yang diberi nama Sumpah Serapah.

Singkatnya, Roseraie de l'Hay adalah seorang wanita yang tidak bisa dilewati pria mana pun tanpa melihat dua kali, tetapi lebih berbahaya daripada prajurit terkuat. Bahaya bagi hati dan jiwa serta tubuh.

Kini di Gelegata Hulu tinggal pula sebuah puak dari Orang Purba. Mereka adalah orang-orang kecil berbonggol yang menyembah asap dan menggambar dengan berkapur gelap di dinding gua, datang untuk berdagang secara sembunyi-sembunyi di tepi kota pasar atau di tepi berumput di perbukitan peri. Bagi Orang Purba, semua orang, baik peri maupun manusia, hanyalah anak-anak yang mengoceh dan berisik.

Kebetulan Roseraie de l'Hay bertemu dengan seorang anak dari Orang Purba yang disiksa oleh serigala berkaki dua. Roseraie de l'Hay sedang berjalan dengan hanya rompi kulit yang dijahit dengan baja berpernis untuk baju zirah, mengenakan rok muslin yang melambai dan senyumnya yang murah hati. Sumpah Serapah tetap di tangannya seperti biasa.

Dia menemukan lima remaja peri dari berbagai usia mengelilingi anak kecil berbulu itu, melontarkan ejekan, tongkat, dan batu dengan penuh semangat.

Roseraie menarik Sumpah Serapah dan menjentikkan ujung jarum dan meneriakkan seruan perang kematian rakyatnya. Para remaja berbalik menghadapnya, melihat kilauan Sumpah Serapah, dan percaya pada takdir mereka. Atau mungkin tahu bahwa takdir percaya pada mereka.

Roseraie de l'Hay menggedong anak Orang Purba yang menangis terisak, tidak lebih besar dari sekarung tepung, dan membawanya di pinggul kirinya sambil mencengkeram Sumpah Serapah di tangan kanannya.

Akhirnya dia bertemu dengan tiga wanita dari Orang Purba yang sedang mengambil air di tepi sungai.

"Aku punya sesuatu milikmu," kata Roseraie de l'Hay.

"Kamu tidak punya apa-apa," gumam salah seorang wanita. Orang Purba tidak pernah banyak berbicara, apalagi dengan bahasa baru yang telah menyebar seperti api di antara penghuni dunia luas.

Ksatria Magenta menurunkan anak itu yang pada saat itu terhibur dari goyangan pinggulnya dan irama tawanya, dan menjadi tenang.

"Dia sudah bukan punya kami lagi," kata wanita Orang Purba itu setelah menghirup bau si bocah dalam-dalam.

"Anak-anak adalah anak-anak."

"Ambil dan pergi."

"Tidak."

Sumpah Serapah bergetar di tangannya, tetapi Roseraie de l'Hay benar-benar menunjukkan kepada para wanita itu takdir mereka, meskipun Orang Purba bukan haknya untuk diadili.

Dan mereka menatap kekuatan paling kuno dan paling baru di dunia, mata saling bertemu saat matahari terbenam dan kicau burung Berganti dan bintang-bintang mengintip dalam remang menuju remang.

Akhirnya di bawah bulan berperut perahu, anak itu merengek karena kelaparan.

"Aku tidak punya susu," kata Roseraie de l'Hay pelan.

Seorang wanita memiringkan kepalanya melihat kesabaran ksatria Magenta, dan meraih anak itu ke payudaranya.

Dalam pusaran kabut dan dedaunan, dia dan saudara perempuannya pergi, meninggalkan Sumpah Serapah yang menyanyikan takdir Roseraie de l'Hay.

Ksatria Magenta mendengar lagu itu, tersenyum sejenak, lalu menuju ke barat mengikuti matahari terbenam menjauh dari Gelegata Hulu, memasuki kehidupan yang mungkin tidak pernah dia kenal sebelumnya.

Di belakangnya, selama bertahun-tahun yang akan datang, sesosok arca kecil dari batu sebagai simbol dewi hutan yang mirip dengannya dipahat untuk mengingatkan orang-orang siapa dia dulu.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun