"Kotoran bebek hijau dan berlendir," kata Syauki saat sepatu bot karetnya meremukkan jarum cemara kering, tanah lempung, dan kerikil kecil.
"Aku tidak melihat apa-apa. Biasanya ada begitu banyak bebek."
Aku melihat ke seberang hamparan tanah. Kami berjalan di batas tali air. Danau nyaris kering. Ketinggian air sangat rendah sehingga hanya tersisa tiga meter panjang danau. Perahu berlabuh bergoyang-goyang di lumpur.
"Kita harus kembali." Aku ingin burger dan soda.
Ketika aku kecil, Danau Seriti sangat luas, sejuk, dan biru. Aku bisa berenang di dalamnya di musim kemarau dan menatap permukaannya yang agak keruh di musim hujan dengan secangkir teh tubruk panas. "Ayo pergi," kataku.
Saya menunggu Syauki di jalan setapak di sebelah pohon cemara dan bangku taman. Seorang pria dengan rambut beruban, rahang tebal dan lebar sehat di pipinya berjalan dengan anjing pemburu hitamnya. Dia melihat ke danau---tepatnya genangan air--- dan duduk di bangku. Syauki masih berkeliaran di sepanjang dasar danau mencari kotoran bebek.
"Aku tidak menyangka airnya susut jauh," kataku sedih. "Dulu ini danau yang indah."
"Sudah menyusut selama satu dekade," kata pria itu. "Kekeringan melanda seluruh provinsi tapi meski begitu... ini aneh. Sungguh. Tidak pernah serendah ini."
"Ini merugikan pariwisata..."
"Memang. Katakan apa yang dia lakukan di situ?"
"Mencari bebek. Dia suka bebek."
"Dia mencari bebek di sini? Tidak bisakah dia melihat tidak ada bebek?" pria itu tampak seperti akan tertawa.
"Dia mencari kotoran bebek agar dia bisa melacaknya," kataku.
"Bebek-bebek itu menghilang beberapa tahun yang lalu."
"Ke mana?"
"Tidak ada yang tahu. Hal-hal aneh telah terjadi di sekitar danau ini. Banyak bangkai ditemukan di sekitar sini. Di jalanan, di lapangan rumput, di tempat parkir. Bermacam binatang. Manusia juga ada yang ditemukan tewas. Beritanya ada di TV. Diserang oleh sesuatu atau lainnya. Dan kemudian bebek-bebek itu mulai menghilang seperti ada sesuatu yang memangsa mereka." Suaranya rendah dan sedingin es.
"Sesuatu?" aku menggigil. Aku menarik kerah jaket lebih tinggi ke kepalaku. Anjingnya menggonggong ke arah hutan pohon pinus.
"Tenang." Dia mencoba menarik tali tetapi anjingnya berlari secepat harimau berburu mangsa. Dia menghilang ke dalam kegelapan. Saya melihat ke danau dan tidak melihat Syauki. Saat itulah aku mendengar suara anjing dan jeritan Syauki.
Orang tua itu dan aku terdiam membatu. Di suatu tempat di hutan yang gelap ada seekor binatang buas yang sedang membunuh mangsanya. Orang tua itu dan aku berjalan perlahan ke jalan.
"Dia anjing yang baik," kata lelaki tua itu
"Syauki adalah pacar yang baik," kataku.
Orang tua itu dan aku berjabat tangan dan aku pergi ke mobil saya. Cerita ini bisa saja menjadi sebuah cerita horor tapi aku bukan orang seperti itu. Orang-orang dalam cerita horor melakukan hal-hal bodoh. Aku tahu aku bukan lawan tanding binatang buas di dalam hutan. Ada monster yang tidak akan pernah bisa dikalahkan. Tidak ada gunanya mencoba.
Aku menuju ke Danau Belibis. Mudah-mudahan masih ada bebek di sana.
Bandung, 10 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H