"Kok bisa?" Miko terus menggelengkan kepalanya, suaranya penuh dengan kekaguman.
"Gue ... entahlah," kata Zaki.
Zaki tampak sedikit ketakutan, tetapi Tiwi tahu persis bagaimana mengalihkan perhatiannya: mereka harus fokus pada bagaimana menggunakan barang-barang ini untuk keuntungan mereka daripada memikirkan semua keanehan. "Hei, teman-teman, mengapa kita tidak menulis SOS yang sangat besar atau semacamnya?" Tiwi bertanya.
Senyum menghiasi wajah Zaki. "Oh wow! Itu ide yang bagus. Kita pasti akan mendapatkan menarik perhatian seseorang."
Tiwi mengambil tongkat panjang dan menelusuri huruf-huruf raksasa di pasir. Dia hanya bisa berharap pesan SOS cukup besar untuk dilihat helikopter dari udara, jika ada yang mau repot-repot terbang ke arah mereka. Dia membuang pikiran itu  bersama dengan malam tiba dan laba-laba pemakan manusia raksasa.
Sambil menelan ludah dan memaksakan senyum, dia berkata "Teman-teman, aku akan membuatnya lebih besar---amaaat besar. Mengapa kalian berdua tidak menggali lubang untuk membuat api unggun? Kita tidak bisa membuang waktu yang berharga."
Menatap ke seberang laut, Miko mengambil batu pipih seukuran telapak tangan dan melemparkannya. Batu itumelompat sepuluh kali di sepanjang permukaan yang mengilap. Dia mengepalkan tinjunya ke udara. "O yeah!"
Tiwi menyibak rambut dari lehernya. Saat itu masih pagi dan matahari sudah membakar kulit. Bagaimana yang akan mereka lakukan ketika tengah hari tiba? Dia jengkel melihat tingkah Miko yang kekanak-kanakan. Zaki tampaknya bisa fokus. Kenapa dia tidak bisa?
"Mik, ada apa denganmu?" seru Tiwi. "Apakah kamu tidak ingin diselamatkan? Karena tampaknya begitu."
Zaki mengangguk. "Berhenti main-main, bro. Kami butuh bantuan lu."
"Oke, gue datang." Miko menjatuhkan segenggam batu dan membersihkan kemeja dan celana pendeknya.