Pada hari itu
Aku dan Rani tiba di Stockholm dengan penerbangan semalam. Malam itu kami menemukan jalan ke Kagges, sebuah restoran yang dia temukan di tripadvisor.
Di dalamnya ada tujuh meja, semuanya diisi dengan pelanggan, dan sebuah bar dengan delapan bangku di bagian belakang. Dua bangku berdiri kosong. Suaranya riuh tetapi tidak memekakkan telinga.
"Gantung mantel kalian," kata resepsionis. Aku melihat seorang wanita muda lain memberi isyarat kepada kami dari belakang bar, menunjuk ke dua bangku kosong. Aku melihat istriku apakah dia setuju duduk di situ. Dia mengangkat bahu.
"Aku ingin meja," kataku pada resepsionis. "Kami membuat reservasi ini enam minggu lalu." Dia membungkuk mendekat dan berbisik, "Hanya itu yang kami punya. Itu adalah tempat duduk terbaik."
Di belakang bar, seorang chef muda dan timnya sibuk menyiapkan piring-piring kecil, dan selama dua jam kami terpesona oleh ketrampilan mereka: mengiris, memotong, membakar, membumbui, dan membuat saus dengan bagai orkestra pilharmoni mempersembahkan karya klasik era barok, masing-masing menyajikan lukisan Jackson Pollock yang dicat dengan tetesan bearnaise dan demi-glaze. Kami belum memesan domba, tetapi setelah melihat persiapan halus sang maestro, apa lagi yang bisa kami lakukan?
"Seharusnya kita booking tempat di Frantzen, tiga Michelin Star," kata Rani sebelum kami pergi.
"Aku tahu," katanya. "Michelin baru di sini. Aku akan coba."
***
Hari sebelum hari itu