Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dari Suara

21 Februari 2023   05:48 Diperbarui: 21 Februari 2023   05:51 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumput laut meninabobokan tiang-tiang dermaga, hanyut bergoyang ke sana kemari mengikuti pasang surut. Dia membelai satu sisi kemudian sisi lainnya saat siang berganti malam, dan kembali siang tanpa menghiraukan teritip yang melekat erat. Sepatu but berjalan di atasnya, naik turun di dermaga, membawa beban lobster dan tas tukang pos, gulungan tisu toilet, dan kaleng dari daratan.

Mesin kapal mengaduk-aduk air sambil memuntahkan minyak, mengocok lumpur dan ikan-ikan kecil, mengusir kedamaian.

Saat angin bertiup kencang dan bulan purnama memancarkan mantra cahaya kekuatannya atas Suara, maka terjadilah badai yang mengamuk. Hujan mencambuk ombak saat mereka memuncak dan menabrak, memuncak dan menabrak, melontarkan tubuh mereka ke atas, terpisah oleh semburan dan jatuh kembali ke amukan yang semakin menggila.

Pada malam seperti itu, sepatu but berlarian di jalanan, lonceng tembaga, hijau karena usia, berdentang.

Ayo selamatkan kami! Datang sekarang!

Pria dan wanita dengan sekoci menerjang auman laut seperti yang selalu mereka lakukan. Mereka menjalankan misi mereka dengan penuh kesadaran bahwa suatu hari nanti giliran mereka, atau putra mereka, atau orang asing dari pantai jauh yang membutuhkan.

Ketika mereka membawa kembali mayat-mayat itu dan membaringkannya di pantai, sekoci tertua pergi - membalikkan punggungnya.

Tapi dia berjalan ke tiang di dermaga tempat lonceng tua digantung dan membunyikannya. Dia membunyikannya dan membunyikannya sampai seluruh warga desa nelayan datang, saat matahari terbit, saat air pasang.

Dan mereka berdiri bersama sebelum wartawan datang, sebelum berita utama ditulis, sebelum kemarahan naik seperti gelombang pasang yang tidak berbuat apa-apa

Dan bersemangat untuk mati seolah-olah kematian hanya milik mereka sendiri.

Bandung, 21 Februari 2023

*satu kisah selalu bisa diulang-ulang dengan cara berbeda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun