Rumput laut meninabobokan tiang-tiang dermaga, hanyut bergoyang ke sana kemari mengikuti pasang surut. Dia membelai satu sisi kemudian sisi lainnya saat siang berganti malam, dan kembali siang tanpa menghiraukan teritip yang melekat erat. Sepatu but berjalan di atasnya, naik turun di dermaga, membawa beban lobster dan tas tukang pos, gulungan tisu toilet, dan kaleng dari daratan.
Mesin kapal mengaduk-aduk air sambil memuntahkan minyak, mengocok lumpur dan ikan-ikan kecil, mengusir kedamaian.
Saat angin bertiup kencang dan bulan purnama memancarkan mantra cahaya kekuatannya atas Suara, maka terjadilah badai yang mengamuk. Hujan mencambuk ombak saat mereka memuncak dan menabrak, memuncak dan menabrak, melontarkan tubuh mereka ke atas, terpisah oleh semburan dan jatuh kembali ke amukan yang semakin menggila.
Pada malam seperti itu, sepatu but berlarian di jalanan, lonceng tembaga, hijau karena usia, berdentang.
Ayo selamatkan kami! Datang sekarang!
Pria dan wanita dengan sekoci menerjang auman laut seperti yang selalu mereka lakukan. Mereka menjalankan misi mereka dengan penuh kesadaran bahwa suatu hari nanti giliran mereka, atau putra mereka, atau orang asing dari pantai jauh yang membutuhkan.
Ketika mereka membawa kembali mayat-mayat itu dan membaringkannya di pantai, sekoci tertua pergi - membalikkan punggungnya.
Tapi dia berjalan ke tiang di dermaga tempat lonceng tua digantung dan membunyikannya. Dia membunyikannya dan membunyikannya sampai seluruh warga desa nelayan datang, saat matahari terbit, saat air pasang.
Dan mereka berdiri bersama sebelum wartawan datang, sebelum berita utama ditulis, sebelum kemarahan naik seperti gelombang pasang yang tidak berbuat apa-apa
Dan bersemangat untuk mati seolah-olah kematian hanya milik mereka sendiri.
Bandung, 21 Februari 2023
*satu kisah selalu bisa diulang-ulang dengan cara berbeda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H