"Mau naik boom boom car lagi bersamaku?" dia bertanya. Gigi peraknya berkilat di antara bibirnya yang tersenyum, dan sejumput rambutnya yang  hitam terurai di dahinya.
Tak tahu berkata apa, aku diam menatapnya. Aku tahu arti sebenarnya dari berbagi tumpangan. Saat itu, meski terlalu muda untuk memikirkan janji masa depan, anak kelas enam sudah berpengalaman untuk saling menggoda. Artinya, aku akan duduk di samping Mahiwal di singgasana kehormatan.
Lalu aku berbalik ke arah yang menakutkan, dan bergidik. Bisakah aku menantang bahaya dengan melakukan perjalanan untuk mencapai kebahagiaan bersama Mahiwal di sebelahku, bahkan lengannya bergetar menempel di bahuku?
"Jangan takut," katanya. "Aku akan bersamamu."
"Oke."
Aku berjalan bersama Mahiwal ke sebuah mobil dan duduk di dalamnya. Dia dengan hati-hati menjauh dari para pengendara yang berisik.
Setelah itu, dia mentraktirku gula-gula kapas yang kami berdua suka, dan kami berbicara tentang acara televisi favorit kami.
Sekolah berakhir, dan tak lama kemudian keluargaku pindah jauh. Aku tidak pernah melihat Mahiwal atau gigi peraknya lagi.
Aku sering bertanya-tanya, apakah kami bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar teman? Namun berkat dia, aku telah mengambil langkah berani pertama menjadi wanita saat berdiri di dekat Baku Toki. Aku mendapat pelajaran penting: bahwa seorang anak laki-laki (dan bukan sembarang anak laki-laki, tetapi Mahiwal!)Â dapat menyukaiku.
Di SMP yang baru, sebagai pendatang baru, aku adalah seorang penyusup, paria. Ketika berjalan sendirian menuju kelas, mencengkeram tas ke dadaku yang masih rata, atau membuka kantong kertas cokelat makan siang dan mengunyah roti selai srikaya dalam kesendirian yang indah, aku sering mengingat bagaimana mengatasi rasa takutku saat menaiki boom boom car bersama Mahiwal. Ini memberiku keberanian dan kepercayaan diri untuk mendekati orang lain.
Aku telah menemukan cara untuk mencoba romansa. Aku harus berani mengambil risiko.