Aku bukan anak kecil yang menyukai rasa takut. Film horor buatku sangat mengerikan, dan aku menghindari wahana yang lebih kejam daripada Turangga-rangga.
Aku bisa membayangkan diriku terlempar keluar dari Halilintar dan bergelantungan di perancah. Jadi lompatan besar ke masa remajaku, adalah saat aku  terjebak di antara bahagia mendapatkan kebebasan dan ketakutan yang membuatku lumpuh terhadap wahana penguji nyali.
Teman sekelasku sama sekali tidak menunjukkan kecemasan. Mereka dengan rela melemparkan diri ke kursi yang berputar dan berpusing, mengangkatnya puluhan meter ke udara. Mereka mengangkat tangan ke atas saat kepala mereka tersentak ke belakang oleh gaya sentrifugal dan sentripetal. Mereka bersorak kegirangan. Sungguh, aku tidak ingin meringkuk di pojok sendirian. Aku ingin sekali merasakan kegembiraan mereka.
Kemudian mataku menatap Baku Toki, wahana boom boom car. Pengendaranya memiliki kendali atas kendaraan kecil, termasuk kemudi, ngebut, bertabrakan. Beberapa gadis beruntung mengendarai mobil yang sama dengan 'pacar' mereka. Aku memutuskan untuk mengambil risiko di Baku Toki.
Begitu giliranku tiba dan petugas mengambil tiketku, aku menurunkan pantatku ke dalam mobil.
Zzzzzzzz, listrik menyala, dan aku meluncur. Ke sana kemari, berputar-putar.
Bum!Â
Pengemudi lain menabrakku. Satu, dua, tiga. Tiga kali lagi aku ditabrak beruntun dengan cepat.
Aku ingin bersembunyi di bawah bangku, tetapi itu akan membuatku buta dan mungkin berakibat fatal. Duduk tegak dan menyetir sebaik mungkin, memantul dari dinding atas belas kasihan setiap pengemudi lainnya. Aku begitu tegang sehingga badanku kaku, mungkin dalam bahaya yang bisa mematahkan anggota tubuh.
Setelah sekian lama yang rasanya berabad-abad, listrik mati dan perjalanan berakhir. Aku merosot, lalu terhuyung-huyung ke pintu keluar. Setiap otot di tubuhku berkedut.
Dan di sana berdiri Mahiwal.