Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Jepang, Negara Matahari Terbenam?

4 Februari 2023   15:30 Diperbarui: 4 Februari 2023   15:32 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.japan-guide.com/e/e3005.html

(Catatan: Artikel ini tidak sengaja terhapus sebelumnya.)

Teen Regime, miniseri besutan NHK memperkenalkan istilah Japan Sunset.

Tahunnya 202X. Jepang mengalami stagnasi yang dalam. Dalam upaya untuk membalikkan situasi, Perdana Menteri Washida meluncurkan proyek Utopi-AI, sebuah upaya eksperimental yang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk memilih pemimpin untuk memerintah kota yang mengalami demoralisasi.

Drama seri tersebut mencerminkan kekhawatiran negara ekonomi raksasa itu terhadap situasi yang melanda beberapa tahun belakangan ini.

***

Tokiyoshi Hideya memulai karirnya sebagai guru bahasa Inggris di Tokyo sekitar 30 tahun yang lalu.

Sejak itu sampai sekarang, gajinya nyaris tak bertambah. Itu sebabnya, tiga tahun lalu, setelah putus asa mengharapkan gaji yang lebih tinggi, guru sekolah tersebut memutuskan untuk mulai menulis buku.

"Saya merasa beruntung, karena menulis dan menjual buku memberi saya pendapatan tambahan. Jika bukan karena itu, saya akan tetap terjebak dalam lingkaran upah yang sama, "kata Tokiyoshi, sekarang 54 tahun, kepada CNN. "Itu sebabnya saya bisa bertahan."

Tokiyoshi adalah bagian dari generasi pekerja di Jepang yang hampir tidak pernah mendapat kenaikan gaji selama masa kerja mereka. Sekarang, ketika harga naik setelah deflasi selama beberapa dekade, negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di dunia dipaksa untuk memperhitungkan masalah utama jatuhnya standar hidup, dan perusahaan menghadapi tekanan politik yang kuat untuk membayar lebih.

Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mendesak dunia usaha untuk membantu para pekerja memenuhi biaya hidup yang lebih tinggi. Bulan lalu, dia meminta perusahaan untuk menaikkan gaji pada tingkat di atas inflasi, dan beberapa perusahaan sudah mengindahkan himbauan tersebut.

Seperti di bagian dunia lainnya, inflasi di Jepang membuat pemerintah kelimpungan. Pada tahun hingga Desember, harga bahan pokok naik 4%. Memang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan Amerika atau Eropa, tetapi merupakan yang tertinggi dalam 41 tahun untuk Jepang, di mana orang sudah terbiasa dengan harga yang bergerak turun.

"Di negara di mana Anda belum pernah menaikkan upah selama 30 tahun, upah riil menurun cukup cepat sebagai akibat inflasi," demikian menurut Stefan Angrick, ekonom senior Moody's Analytics yang berbasis di Tokyo.

Bulan lalu, Jepang mencatat penurunan pendapatan terbesar, setelah memperhitungkan inflasi, dalam hampir satu dasawarsa.

Menurut data dari Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), gaji tahunan rata-rata di Jepang adalah $39.711 pada tahun 2021. Bandingkan dengan $37.866 pada tahun 1991. Itu berarti karyawan mendapat kenaikan gaji kurang dari 5%, dibandingkan dengan kenaikan 34% di negara-negara G7 lainnya, seperti Prancis dan Jerman, selama periode yang sama.

Para ahli telah menunjukkan serangkaian alasan upah stagnan.

Pertama, Jepang telah lama bergulat dengan kebalikan dari apa yang dihadapinya sekarang: harga rendah. Deflasi dimulai pada pertengahan 1990-an, karena yen yang kuat menekan biaya impor, dan meledaknya gelembung aset domestik.

"Selama 20 tahun terakhir, pada dasarnya, tidak ada perubahan dalam inflasi harga konsumen," kata Mge Adalet McGowan, ekonom senior tentang Jepang di OECD.

"Hingga saat itu, konsumen nyaris tidak akan merasakan dampak terhadap pendapatan mereka atau merasa perlu menuntut upah yang lebih baik," tambahnya.

"Tetapi ketika inflasi naik, rakyat Jepang cenderung mulai mengeluh tentang kurangnya pendapatan," prediksi Shintaro Yamaguchi, seorang profesor ekonomi di Universitas Tokyo.

Para ahli mengatakan upah Jepang juga menderita karena tertinggal dalam metrik lain: tingkat produktivitasnya.

Pengeluaran negara, diukur dengan berapa banyak pekerja yang menambah PDB suatu negara per jam. Jepang lebih rendah dari rata-rata OECD, dan "ini mungkin alasan terbesar untuk tidak menaikkan," demikian menurut Yamaguchi.

"Umumnya, upah dan pertumbuhan produktivitas berjalan beriringan," kata McGowan. "Ketika ada pertumbuhan produktivitas, perusahaan berkinerja lebih baik dan selanjutnya dapat menawarkan upah yang lebih tinggi."

Dia mengatakan populasi lansia di Jepang juga menambah masalah, karena angkatan kerja yang lebih tua cenderung tidak menambah produktivitas dan tak mempersoalkan upah yang lebih rendah.

Pada tahun 2021, hampir 40% dari total tenaga kerja Jepang dipekerjakan paruh waktu atau jam kerja yang tidak teratur, naik dari sekitar 20% pada tahun 1990, demikian menurut McGowan.

"Seiring dengan naiknya porsi pekerja tidak tetap ini, tentu upah rata-rata juga tetap rendah, karena mereka berpenghasilan lebih rendah," ujarnya.

Menurut para ekonom, budaya kerja Jepang yang unik berkontribusi pada upah yang stagnan.

Banyak orang bekerja dalam sistem 'setia sampai mati' pada satu perusahaan. Sebagai timbal balik, perusahaan berusaha keras untuk mempertahankan pekerja dalam daftar penerima gaji selama karyawan tersebut masih hidup.

Itu berarti mereka seringkali sangat berhati-hati dalam menaikkan upah meski di saat-saat perusahaan membaik agar mereka memiliki sarana untuk melindungi pekerja mereka di saat-saat sulit.

"Mereka tidak ingin memecat orang. Jadi mereka perlu memiliki penyangga itu agar dapat mempertahankan mereka dalam daftar gaji ketika krisis melanda, "kata McGowan.

Budaya kerja-seumur-hidup di Jepang bertahan dari perang, gempa bumi, dan kini setelah pandemi.

"Sistem penggajian berbasis senioritas, di mana pekerja dibayar berdasarkan pangkat dan masa kerja mereka daripada kinerja, menurunkan insentif bagi orang untuk berganti pekerjaan, yang di negara lain umumnya membantu menaikkan upah," menurut McGowan.

"Masalah terbesar di pasar tenaga kerja Jepang adalah desakan keras kepala pada gaji berdasarkan senioritas," Jesper Koll, seorang ahli strategi dan investor terkemuka Jepang, sebelumnya mengatakan kepada CNN. "Jika gaji berbasis prestasi diperkenalkan, akan ada lebih banyak peralihan pekerjaan dan peningkatan karier."

 Bandung, 4 Februari 2023

(Disarikan dari berbagai sumber)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun