Putih bagai salju, seringan bulu. Aku memberikannya pada kakakku yang suka ketinggian, dan dia sekarang terbang seperti bidadari.
Kakakku bahagia, jauh dari kebenaran yang menyakitkan, dan aku kembali menguning, di hatiku. Kemeja kuning, kuning yang bahagia, yang bersinar cerah ceria.
Aku mencuri tempias matahari.
Menyala seperti api, hangat seperti musim kemarau, dan aku memberikannya kepada ibu yang menyukai kehangatan. Ibu merasa hangat sekarang, dia tidak lagi mengeluh.
Ibu bahagia, jauh dari semua kedinginan di sekitarnya, dan aku kembali menguning. Aku memakai topi kuningku yang membuatku terlihat seperti badut.
Aku mencuri sebuah apel dari pasar.
Rasanya manis seperti gula, segar seperti rengekan bayi, dan kuberikan kepada ayah yang sakit. Dia baik-baik saja sekarang, tidak perlu obat-obatan, dia tidak akan segera meninggal.
Ayah senang, jauh dari dokter dan rumah sakit dan tagihan dan sebagainya,. dan aku kembali menguning. Memegang tongkat kuningku yang membuat mantra keajaiban.
Aku mencuri jaket dari gerai busana di mal.
Warnanya kuning cerah seperti bajuku, topiku, tongkat ajaibku. Seperti kebahagiaan dan kegembiraan, sangat pas dan aku terlihat bahagia, seperti mereka semua peduli padaku dan ingin aku bahagia seperti aku ingin mereka bahagia, tapi kemudian seorang opsir menangkapku. Dia menelepon ke rumah, tetapi kakakku, ibuku, semuanya sibuk, dan aku kembali menguning. Kuning tua, kuning kesepian, jenis kuning yang dikhianati sebab tidak ada yang peduli.
Opsir mengatakan hujan akan segera turun, dan aku menjadi biru. Sedih, hujan biru.
Kuning cerah melelahkan, Â dan kurasa awan kakakku larut, tempias ibuku akan lenyap, dan apel ayah tidak akan bertahan lama. Dan mereka tidak akan punya apa-apa lagi,. seperti aku tidak punya apa-apa, dan mungkin mereka akan peduli.
Bandung, 29 Januari 2023Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H