Sol sandal dari kayu menghantam tempurung lututnya di bawah meja. Lututnya yang rematik.
Menjadi seorang pekerja konstruksi yang gagah perkasa, dia tidak menjerit apalagi menangis, hanya memejamkan mata dan berusaha mengendalikan rasa sakit.
Sama sekali tidak berhasil.
Mengucapkan kata 'permisi' dengan lirih, dia mencoba ke kamar kecil sebelum lututnya menyerah.Â
Dia hampir berhasil.
***
Semuanya dimulai pagi itu. Istrinya bersikeras agar mereka menjadi tamu makan malam teman sekamar kuliah lamanya di sebuah restoran gourmet. Artinya, untuk menyelesaikan kewajibannya di tempat kerja, tidak ada makan siang.
Ketika dia sampai di rumah, hampir tidak ada waktu untuk berganti pakaian dan kemudian bergegas ke restoran agar sampai ntepat waktu.
Semuanya dimulai dengan buruk. Mereka tidak menyajikan bir, hanya anggur.
Restoran itu memiliki lantai ubin. Bagus untuk menjaga kebersihan, dan dia baik-baik saja dengan kebersihan, tetapi hiruk pikuk, saat suara memantul di antara ubin dan langit-langit yang halus, membuat telinganya tuli, karena dalam pekerjaannya terebiasa mendengar suara bising yang konstan.
Dia duduk mengangguk secara berkala pada percakapan yang tak berkesudahan. Dia mendengar tapi tak mengerti, dan hanya bisa menebak dengan menangkap kata yang asing.
Ketika makanan datang, itu adalah kesabarannya berakhir.
"Tampilan yang sangat bagus," nyonya rumah menyembur.
Sepertinya ada anak yang telah mengambil porsi anak kecil dan membuat gambar wajah dengan makanan.
"Permisi," tanyanya pada pelayan, "Apakah ini camilan?"
"Tidak tuan, ini hidangan utama."
"Bisa tolong bungkuskan nasi rames daging rendang di Warung Nasi Kapau sebelah? Sekalian dengan tambahan nasi."
Saat itulah sol sandal dari kayu di kaki istrinya menghantam lututnya yang encok.
Bandung, 29 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H