Kuil itu berbau seperti dedaunan basah yang dijejalkan di balik pemanas ruangan yang lembap. Dupa persembahan akan berbau seperti ini.
Aku menyelinap masuk dan duduk di tepi bangku terakhir. Hanya ada satu orang lagi di sana, seorang wanita tua dengan rambut ungu pucat.
Dia mengunyah permen gulali, tasbih melingkari buku-buku jarinya begitu erat sehingga tampak seperti kawat. Punggungnya tegak kaku saat aku masuk. Dengan susah payah dia bangkit dari lututnya dan melirik sekilas ke samping, berjalan keluar pintu.
Aku menghela nafas.
Sinar matahari sepucat kabut membanjiri jendela-jendela melengkung yang tinggi. Warna putih berserabut pada awalnya, diperdalam menjadi kemilau emas suram yang hangat saat senja.
Mengingatkanku pada pada gandum, pada warna rambut ibuku. Aku menggeliat, kakiku sedingin tanah liat.
Hari ini adalah hari ulang tahunku, kataku dengan lantang. Untuk beberapa saat yang menegangkan setelah itu, aku mengharapkan sebuah tangan kokoh untuk mencengkeram bahuku.
Aku telah mengatakannya pada patung dewa di tengah altar, tirai beledu merah marun menutupi kedua sisinya, mata tertunduk.
Dia banyak bicara seperti biasanya. Ada lapisan debu tipis di tulang rusuknya. Ketika pergi, aku menjatuhkan beberapa cawan perunggu yang ditumpuk di dekat pintu. Aku membungkuk untuk mengambilnya, tetapi berhenti, takut jari-jariku akan terbakar.
Meskipun saat itu bulan biru, aku mengenakan mantel lengan panjang untuk menutupi luka perak yang membentang di sepanjang lengan kiri.
Lukanya berkeropeng, kenang-kenangan yang jelas dari suatu malam yang sangat sunyi ketika aku dengan tenang menggoreskan pisau batu bintang yang berkarat di kulitku. Menyakitkan, tapi berantakan daripada menyakitkan.
Darah mengalir dan tumpah perlahan dari luka sayatan, seperti aku mencelupkan lenganku ke dalam panci cat merah yang lengket.
Gemetar, aku menyalakan kedua keran di wastafel dapur, menyengat seperti ruam jelatang.
Aku membungkus lenganku erat-erat dengan serbet kuning merah kotak-kotak dan makan beberapa kerak  cokelat. Rasanya seperti ramuan penenang.
Keesokan paginya, tanpa melihat pisau kotor itu, aku memasukkannya ke tempat sampah.
Lapar. Ada sebuah kedai di sudut kuil. Lonceng yang berbunyi ‘ting, ting’ ketika pintu dibuka. Bubur sorgum beku dan limun hangat melalui sedotan merah muda. Kina-Kina dari Nalina Chitrakar sedang diputar di radio.
Aku memperhatikan pelayan ketika dia pergi keluar untuk merokok. Bersandar di kaca, bahunya sempit dan rambut hitam, lalu mematikan ujung rokok di langkan batu. Dia tersenyum ketika dia melewatiku, jadi aku meninggalkan tip yang lumayan. Melipat uang kertas kusut menjadi persegi yang kecil, dan meninggalkannya di bawah botol merica.
Langit sewarna tembaga bakar.
Aku berjalan jauh ke belakang, menyusuri jalan berkerikil di samping tepian kanal yang diapit pepohonan mahoni. Mantelku bernoda air di bawah setiap lengan pada saat aku sampai di rumah.
Aku tak mau repot memeriksa kartu ulang tahun di balik pintu, semuanya hanya tagihan yang belum dibayar.
Bandung, 26 Januari 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI