Kuil itu berbau seperti dedaunan basah yang dijejalkan di balik pemanas ruangan yang lembap. Dupa persembahan akan berbau seperti ini.
Aku menyelinap masuk dan duduk di tepi bangku terakhir. Hanya ada satu orang lagi di sana, seorang wanita tua dengan rambut ungu pucat.
Dia mengunyah permen gulali, tasbih melingkari buku-buku jarinya begitu erat sehingga tampak seperti kawat. Punggungnya tegak kaku saat aku masuk. Dengan susah payah dia bangkit dari lututnya dan melirik sekilas ke samping, berjalan keluar pintu.
Aku menghela nafas.
Sinar matahari sepucat kabut membanjiri jendela-jendela melengkung yang tinggi. Warna putih berserabut pada awalnya, diperdalam menjadi kemilau emas suram yang hangat saat senja.
Mengingatkanku pada pada gandum, pada warna rambut ibuku. Aku menggeliat, kakiku sedingin tanah liat.
Hari ini adalah hari ulang tahunku, kataku dengan lantang. Untuk beberapa saat yang menegangkan setelah itu, aku mengharapkan sebuah tangan kokoh untuk mencengkeram bahuku.
Aku telah mengatakannya pada patung dewa di tengah altar, tirai beledu merah marun menutupi kedua sisinya, mata tertunduk.
Dia banyak bicara seperti biasanya. Ada lapisan debu tipis di tulang rusuknya. Ketika pergi, aku menjatuhkan beberapa cawan perunggu yang ditumpuk di dekat pintu. Aku membungkuk untuk mengambilnya, tetapi berhenti, takut jari-jariku akan terbakar.
Meskipun saat itu bulan biru, aku mengenakan mantel lengan panjang untuk menutupi luka perak yang membentang di sepanjang lengan kiri.