Lukanya berkeropeng, kenang-kenangan yang jelas dari suatu malam yang sangat sunyi ketika aku dengan tenang menggoreskan pisau batu bintang yang berkarat di kulitku. Menyakitkan, tapi berantakan daripada menyakitkan.
Darah mengalir dan tumpah perlahan dari luka sayatan, seperti aku mencelupkan lenganku ke dalam panci cat merah yang lengket.
Gemetar, aku menyalakan kedua keran di wastafel dapur, menyengat seperti ruam jelatang.
Aku membungkus lenganku erat-erat dengan serbet kuning merah kotak-kotak dan makan beberapa kerak  cokelat. Rasanya seperti ramuan penenang.
Keesokan paginya, tanpa melihat pisau kotor itu, aku memasukkannya ke tempat sampah.
Lapar. Ada sebuah kedai di sudut kuil. Lonceng yang berbunyi ‘ting, ting’ ketika pintu dibuka. Bubur sorgum beku dan limun hangat melalui sedotan merah muda. Kina-Kina dari Nalina Chitrakar sedang diputar di radio.
Aku memperhatikan pelayan ketika dia pergi keluar untuk merokok. Bersandar di kaca, bahunya sempit dan rambut hitam, lalu mematikan ujung rokok di langkan batu. Dia tersenyum ketika dia melewatiku, jadi aku meninggalkan tip yang lumayan. Melipat uang kertas kusut menjadi persegi yang kecil, dan meninggalkannya di bawah botol merica.
Langit sewarna tembaga bakar.
Aku berjalan jauh ke belakang, menyusuri jalan berkerikil di samping tepian kanal yang diapit pepohonan mahoni. Mantelku bernoda air di bawah setiap lengan pada saat aku sampai di rumah.
Aku tak mau repot memeriksa kartu ulang tahun di balik pintu, semuanya hanya tagihan yang belum dibayar.
Bandung, 26 Januari 2023