Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bayangan dan Matahari

20 Januari 2023   22:26 Diperbarui: 20 Januari 2023   22:36 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menjadi curiga kita telah terinfeksi ketika wanita itu berjalan dua langkah dari Toko Buku Pojok Tugu dan ditabrak bus. Rambut ikal hitamnya yang merebak, jeritan klakson, dinding warna seperti transisi adegan. Dia tergambar di aspal.

Aku yakin bukan kecelakaan. Aku yakin.

Pastilah malaikat maut menganggapnya berbahaya karena dia baru saja mencoba memperingatkanku.

Kami bertemu saat minum kopi di Toko Buku Pojok Tugu, bersenda gurau dalam obrolan ringan, Atlas Astronomi yang dia simpan di tasnya, rokok yang kuselipkan di tasku, dan sesaat sebelum pergi dia berbisik, "Menurutmu mana yang lebih dulu, bayangan atau matahari?" Dia kemudian menggelengkan kepalanya. "Kamu tidak tahu, tentu saja. Jadi berhati-hatilah."

Hembusan nafasnya menggelitik telingaku. "Kamu terinfeksi parasit."

Aku tidak tahu apa yang dia maksud, dan tidak ada kesempatan baginya untuk mengklarifikasi.

Mungkin kita alien, berserakan dari asteroid ke bumi, dan inilah mengapa kita begitu aneh.

Kita membangun jalan raya dan sarang kita, dan bagi kita matahari adalah sumber penyakit.

Penghuni Bumi  menjadi simbiot kita. Cangkangku ini yang bercabang dari kaki dan berputar dengan sudut matahari, ada di sini sejak aku terpapar udara bumi yang menyesakkan saat keluar dari rahim. Berubah bersamaku.

Memangsaku perlahan.

Tidak ada bayangan di bagian putih mataku. Tidak ada bayangan di tulangku. Apa bisa disebut manusia jika bukan sesuatu yang memantulkan cahaya?

Atlas Astronomi adalah seratus halaman gelap gulita dan di ujungnya terdapat satu paragraf yang sangat kecil sehingga aku memerlukan suryakanta untuk membacanya.

Jika buku ini yang mewakili seluruh alam semesta, setebal atmosfer Bumi, dan halaman hitam ditumpuk hingga ke bulan, akan memerlukan waktu yang lama untuk membacanya.

Mungkin begitulah cara kerja semua ini---berpikir sangat keras tentang sesuatu yang tidak masuk akal sama sekali, dan kemudian melupakannya.

Ruang tidak memiliki bayangan karena bayangan adalah sebuah konsep, dan jika aku lebih dari diri fisikku, maka ada bagian dari diriku yang tidak masuk akal dan tidak memiliki bayangan.

Sesuatu yang melingkar-lingkar.

Seperti alasan.

Seperti waktu.

Jika bayanganku melekat padaku, maka ia merayap melalui anggota tubuhku menyelinap ke telapak kakiku seperti cacing benang yang berkumpul di tanganku, di ususku.

Membentuk lingkaran, seperti ouroboros.

Ia tahu rutinitasku dan siklusnya. Itu membawaku ke warung karena aku butuh makan, ke kantor, ke sekolah, ke Toko Buku Pojok Tugu pada Jumat sore.

Tubuh dari daging, pejalan dalam terang, dan aku, pikiranku, tidak lebih dari fatamorgana.

Apa jadinya aku? Apakah aku selalu hanya bayangan, meluncur di atas retakan trotoar di belakang langkahku sendiri?

Seharusnya tidak seperti ini. Aku rindu merasakan jari-jariku dan bibirku. Aku rindu bau tabir surya. Aku telah menjadi lemah dan bayangan, dalam kekuatannya, terlalu percaya diri, tidak menyadari keberadaanku. Sudah waktunya untuk mengambil alih kembali diriku.

Bentukku tidak terbatas. Sebuah konsep. Aku meregangkan sulurku melalui anggota tubuhnya, tumbuh.

Tubuh ini merasakan kopi pahit dan jagat raya, filosofi bayangan dan matahari.

Wanita itu membungkuk mendekat. Dia tidak boleh memperingatkannya tentang siapa aku. Dia tidak boleh tahu.

"Hati-hati," bisiknya pada bayanganku. "Kamu terinfeksi parasit."

Bandung, 20 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun