Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Tersirat

16 Januari 2023   21:31 Diperbarui: 16 Januari 2023   21:33 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Louvre Pyramid (thegoodlifefrance.com)

Ketika aku masih di Paris, seminggu sekali, pada Kamis pagi, kita minum kopi di Cafe Ruc. Kamu selalu memesan secangkir espresso, aku selalu memesan cafe au lait dan makan baguette dengan mentega sambil menatap kesibukan di Simpang Lima.

Setelah selesai, kita berjalan jalan-jalan. Entah ke taman Palais Royal atau melalui Passage de Richelieu ke Cour Napoleon dan berjalan-jalan di sekitar piramida kaca.

Kita bertemu di Bibliotheque Nationale sambil mengantre untuk mendapatkan tempat duduk yang langka di dalam.

Aku tidak tahu banyak tentang kamu. Aku tidak pernah bertanya apakah kamu sudah menikah atau punya anak. Kamu juga tidak bertanya tentangku. Aku tidak memberi tahu kamu bahwa aku baru saja berpisah dengan tunanganku dan bersumpah tidak akan pernah berkencan lagi.

Kita berbicara tentang hal-hal lain. Buku dan film. Filsafat dan seni. Psikoanalisa. Kamu sedang menulis tesis tentang kemerosotan moral dengan menggunakan pendekatan psikopatologis. Kamu mengutip Freud, Lacan, dan Levinas. Aku melakukan penelitian tentang sastra Haiti, menelaah voodoo dalam novel.

Kamu bilang bahwa kamu tidak religius, tetapi setiap kali kita melewati sinagog, kamu akan berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mengejar aroma lembut yang tidak dapat kudeteksi.

"Quince," katamu. "Mengingatkanku pada masa kecil." Dan setahun sekali kamu berpuasa Hitam Putih.

Hari itu, kita memasuki selasar Richelieu dan kamu tiba-tiba berhenti. Di atas bahumu, aku melihat piramida kaca. Jika saat itu aku memotretmu, itu akan menjadi gambar simetri yang sempurna.

Kamu menatapku dan aku melihat rasa sakit di wajahmu. Aku telah memperhatikannya sebelumnya di kafe tetapi tidak tahu sebabnya.

"Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu," katamu.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku bisa memberitahumu bahwa aku merasakan hal yang sama.

"Aku akan bercerai."

Punggungku menggigil. Menikah, pikirku, tentu saja.

"Katakan sesuatu," katamu.

 "Ada sesuatu yang seharusnya kuberitahukan padamu sebelumnya."

"Ya," katamu, matamu berkaca-kaca.

 "Penelitianku sudah selesai. Beasiwa dua tahunku sudah berakhir. Aku akan pulang."

Emosi yang tidak bisa kusebutkan namanya melintas di wajahmu dan menghilang.

"Ayo pergi," katamu. "Apakah kamu sudah menyelesaikan Soleil Noir?"

"Oh, ya. Aku hampir lupa mengembalikannya." Aku mengaduk-aduk tasku.

Kita hanya mengitari piramida sekali hari itu sebelum kamu mengantarkanku ke stasiun metro Pont Neuf.

Biasanya, kamu akan mengucapkan au revoir di pintu stasiun, tetapi hari itu kamu mengikutiku ke dalam dan kita menunggu keretaku bersama. Ketika kereta datang, aku masuk dan meninggalkanmu sendirian, melambai.

Aku tidak pernah melihatmu lagi.

Bertahun-tahun kemudian, aku menemukan sebuah catatan di salah satu buku Maurice Blanchot koleksiku:

-- "Yang tersirat, selalu. M."

Bandung, 16 Januari 2023

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun