Hampir seketika suara Kapten terdengar melalui interkom yang memberi tahu bahwa akan tiba di Bandara Internasional Pudong Shanghai dalam waktu beberapa menit"Harap mengenakan sabuk pengaman. Cuaca di Shanghai," tambahnya, "cerah."
Ranya Vachel mengerutkan hidungnya padaku. "Anda dengar?"
Dia membuka tas tangannya, mengeluarkan cermin, dan mulai melakukan hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu di wajahnya. Sambil memoles bibir dengan dengan lipstik, dia berkata, "Terima kasih untuk obrolan singkatnya yang menyenangkan. Mungkin kita akan bertemu lagi di Shanghai."
Sambil tersenyum, aku berharap tak terdengar sebagai ironi, "Baiklah, aku akan mencari kamu."
Pesawat menukik ke bawah menuju garis pantai Cina yang datar. Di sebelah kanan, gedung-gedung pencakar langit Shanghai dibayangi langit biru di sore musim semi yang sempurna. Bagai ular yang meliuk-liuk, Sungai Yangtze membelah kota menjadi dua.
Aku membiarkan Ranya mendahuluiku melewati Imigrasi dan Bea Cukai. Alih-alih meletakkan koper bergaris biru dan kuningnya yang di troli bus maskapai, dia mengambilnya dan berjalan cepat ke pintu keluar utama. Aku mengambil koperku sendiri dari troli dan bergegas mengejarnya, tiba di pintu keluar tepat pada waktunya untuk melihat betis terbalut stocking menghilang ke dalam taksi.
Aku memberi isyarat pada pengemudi taksi berikutnya, tetapi kalah dari orang Amerika. Dari gerak-geriknya dengan tasnya, aku mendapat kesan dia sedang menginstruksikan pengemudi untuk mengikuti taksi Ranya.
Lima detik kemudian aku memerintahkan hal yang sama kepada sopir taksi yang kutumpangi. Sopirku tak bisa berbicara bahasa Indonesia dan aku tak begitu fasih berbicara bahasa nenek dari ibuku, tetapi untungnya kami berdua tahu bahasa Inggris sehingga cukup bagiku untuk menyampaikan permintaanku dengan cepat.
Dengan rokok lisong yang tak lepas dari bibirnya, dia menjawab, "Oki doki," dengan suara datar tanpa ekspresi.
Kami mengikuti taksi Ranya di sepanjang jalan yang sibuk di sisi sungai Yangtze.
Saat kami mendekati jembatan yang paling megah dibandingi jembatan lainnya, taksi yang kami ikuti melambat dan masuk berhenti di samping trotoar. Mencondongkan tubuh ke depan, aku menyuruh sopir untuk terus melewati mereka. "Oki doki," dia menjawab tanpa ekspresi saat aku merunduk untuk menghindari dikenali oleh wanita dan pria yang sekarang berada di trotoar, bertukar sapa.