Seperempat jam menjelang pesawat mendarat, aku merasa perlu untuk memperkecil celah yang mungkin bisa memberi petunjuk tentang tujuan perjalanannya.
"Mengapa ada orang yang datang ke Cina untuk liburan di luar logikaku," kataku berbisik seakan memberitahukan sebuah rahasia besar. "Kalau bukan urusan pekerjaan, aku takkan membiarkan diriku terseret sampai ke sini."
"Cara berpikir Anda persis tunanganku," katanya dengan nada jengkel. Sebutkan 'liburan' dan dia langsung menyebut Bali."
"Setidaknya di Bali matahari selalu bersinar," kataku sopan. "Mungkin Cina punya spot yang bagus. Tapi cuaca biasanya buruk."
"Ah, omong kosong! Saya pernah ke Cina beberapa kali dan cuacanya luar biasa."
"Kamu sangat beruntung, hanya itu yang bisa aku katakan." Aku megorek sejauh yang aku bisa tanpa menimbulkan kecurigaannya. "Contohnya Jepang. Apa yang menarik ketika pohon sakura sedang tidak mekar?"
"Pagoda." Matanya mengejekku sejenak. "Oh, baiklah. Hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu Anda! Shanghai adalah surga museum dan galeri seni. Shanghai adalah kota museum."
Seolah-olah untuk menekankan bahwa ketertarikannya bukan pada laki-laki, dia memainkan cincin pertunangannya, lalu dengan cepat mengubah topik pembicaraan. "Jadi, Anda sedang dalam perjalanan bisnis?"
Aku mengangguk. "Aku seorang jurnalis, menulis artikel teknologi. Sebagian besar tentang teknologi. Itulah alasan aku ke Shanghai. Mereka memiliki teknik baru tentang pencahayaan dinding yang diminati oleh media tempat aku bekerja."
"Topiknya di luar dari kemampuan saya," katanya sambil tersenyum. "Saya rasa sudah waktunya kita mendarat."